Dalam RKUHP, Dukun Santet Bisa Dibui!

Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) akan dirampungkan dalam waktu kurang lebih sepekan. Sejumlah organisasi masyarakat sipil terus mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah menunda rencana pengesahannya.

Di samping proses perumusannya yang terkesan sembunyi-sembunyi, koalisi menyayangkan banyaknya pasal-pasal yang dinilai bermasalah. Sejumlah pihak juga merasa rancangan UU tersebut masih bergaya kolonial.

Bahkan, tidak sedikit yang bertolak belakang dengan hak asasi manusia. Kalau jadi disahkan pada 24 September 2019 mendatang, bakal ada banyak hal baru yang mengikat kebebasan masyarakat. Berikut ini rangkuman 10 pasal kontroversi dalam RKUHP yang tengah menjadi sorotan publik:

1. Pasal 67, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101 RKUHP – Hukuman Mati

Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengkritik ketentuan penerapan hukuman mati yang masih diatur dalam RKUHP. Hal ini dikarenakan 2/3 negara di dunia juga sudah menghapus sanksi tersebut.

Pemberian masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati pun, seharusnya menjadi hak setiap orang yang dijatuhkan vonis dan tidak boleh bergantung kepada putusan hakim.

Selain melanggar kovenan internasional, penerapan hukuman mati juga melanggar pasal 28 UUD 1946 dan UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Didalam Pasal 28A UUD 1945 menyebutkan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

(Baca juga: Mengenal Kebiri Kimia, Hukuman Untuk Sang ‘Predator’)

2. Pasal 167 RKUHP draft 28 Agustus 2019 – Pengaturan Makar

Masalah lain yang tak kalah penting adalah pasal makar. Pertama-tama, pendefinisian kata makar tidak sesuai dengan bahasa asal dalam hukum pidana Belanda, “aanslag”, yang artinya serangan.

Dalam draf terbaru RKUHP, tindak pidana makar diatur dalam tiga pasal yakni, makar terhadap presiden dan wakil presiden, makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan makar terhadap pemerintah yang sah.

Ketiga pasal tersebut cenderung mendefinisikan makar secara multitafsir. Alhasil, ketentuan pidana itu menjadi pasal yang bersifat karet. RKUHP dengan rumusan pasal ini juga cenderung akan memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat setiap individu di Indonesia.

3. Pasal 218-219 RKUHP – Penghinaan Presiden, Pasal 240-241 RKUHP – Penghinaan Pemerintah yang Sah, Pasal 353-354 RKUHP – Penghinaan Kekuasaan Umum/ Lembaga Negara.

Beberapa ketentuan pasal kolonial yang tak luput dari protes keras adalah pasal penghinaan terhadap presiden, penghinaan terhadap pemerintah yang sah dan pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara.

Ketiganya dianggap tidak lagi sesuai dengan prinsip negara demokratis Hukuman atas penghinaan presiden tersebut pada dasarnya berasal dari pasal tentang lese mejeste yang dimaksudkan untuk melindungi Ratu Belanda.

Sehingga bila nantinya pasal ini diberlakukan, berpotensi menghilangkan hak setiap orang untuk bebas mengemukakan kritik, khususnya ke penguasa. Pasal 218-219 RKUHP kabarnya juga turut membatasi ruang gerak pers.

(Baca juga: Beredar Nama Agus Yudhoyono Masuk Dalam Bursa Menteri Jokowi!)

4. Pasal 432 RKUHP – Gelandangan Didenda Rp1 Juta

Dalam aturan RUU KUHP sebelumnya, gelandangan dan psikososial yang dianggap mengganggu ketertiban umum bisa dipidana kurungan tiga bulan. Namun, hal berbeda tertuang dalam rumusan RKUHP terbaru di pasal 432.

Pasal 432 mengancam denda Rp1 juta terhadap perempuan yang bekerja dan pulang malam, pengamen, tukang parkir, orang dengan disabilitas psikososial yang ditelantarkan keluarga, serta anak jalanan.

Hukuman tersebut dinilai sangat tidak masuk akal, karena dari mana soeorang gelandangan bisa membayar uang Rp1 juta?

5. Pasal 417 dan 419 RKUHP – Perzinaan

Masyarakat sipil menilai negara terlalu jauh menggunakan hukum pidana, untuk membatasi hak konstitusional yang bersifat privat. Terlebih ketika dua orang dewasa melakukan hubungan seks dan tinggal bersama atas kesepakatan bersama.

Pasal 417 ayat 2 menjelaskan orang yang berzina bukan dengan pasangan sah menikah dipidana penjara selama satu tahun. Sementara di pasal 419 ayat 1, menjelaskan orang yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau kohabitasi dipidana enam bulan.

Mereka yang telah berhubungan badan tanpa status sah, kemudian sang laki-laki berjanji mengawini tapi kemudian ingkar, pun akan dijerat pasal 148 ayat 1.

6. Pasal 414 RKUHP draft 28 Agustus 2019 – Pemberian Alat Kontrasepsi

Pasal 414 menyebutkan, setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan alat kontrasepsi kepada anak diancam pidana denda.

Akan tetapi, aturan tertulis ini dikecualikan bagi petugas yang memang berwenang mengenalkan alat kontrasepsi untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau pendidikan.

Munculnya pasal tersebut dinilai kontraproduktif dengan upaya penanggulangan HIV AIDS. Beberapa pandangan menyebutkan bahwa kondom adalah cara paling efektif mencegah penyebaran HIV dan sebelumnya sudah didekriminalisasi oleh Jaksa Agung tahun 1978 dan BPHN tahun 1995.

7. Pasal 470-472 RKUHP draft 28 Agustus 2019 – Larangan Aborsi

Selanjutnya pasal yang juga banyak menuai penolakan adalah larangan aborsi. Aborsi atau menggugurkan kandungan diatur dalam Pasal 251, 470, 471, dan 472 RUU KUHP.

ICJR mencatat, pasal tersebut justru bisa menimbulkan kriminalisasi terhadap korban perkosaan atau wanita hamil dengan indikasi kesehatan tertentu.

Dalam pasal tersebut, aborsi tak mengancam pidana dokter yang menggugurkan kandungan korban perkosaan, tetapi memenjarakan korban perkosaan itu sendiri. Hal yang justru bertentangan dengan Pasal 75 UU Kesehatan dan Fatwa MUI No 4 tahun 2005.

(Baca juga: Pindah Ibu Kota Butuh Rp466 Triliun, Duitnya dari Mana Pak Jokowi?)

8. Pasal 604-607 RKUHP, Tindak Pidana Korupsi

Pasal 604, 605, dan 607 mengatur ancaman pidana yang lebih ringan untuk para koruptor. Hukuman tersebut diturunkan menjadi minimal dua tahun penjara.

Keputusan itu jelas mengundang protes dan kecaman dari berbagai pihak. Padahal dalam KUHP lama, hukuman untuk pelaku tindak pidana korupsi minimal empat tahun penjara.

Selain itu, RKUHP pun tidak lagi mengadopsi pengaturan khusus yang ada dalam UU Tipikor, khususnya pasal 15; Percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi yang akan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana tindak pidana korupsi yang bersangkutan selesai dilakukan (delik penuh).

9. Pasal 518 RKUHP, Pengusaha Boros Hingga Pailit Dipenjara

Seiring dengan rencana disahkannya RKUHP baru, pengusaha juga harus berhati-hati. Mengingat ada pasal yang mengatur hukman bagi kepailitan bisnis mereka kelak. Aturan ini tercantum dalam pasal 518.

Pengusaha yang dinyatakan pailit atau diizinkan melepaskan harta bendanya, akan dipidana karena dianggap merugikan kreditor. Adapun pindana tersebut adalah hukuman bui paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan. Serta ancaman denda paling banyak Kategori III jika hidup terlalu boros.

10. Pasal 304, Penodaan Agama

Agama selalu menjadi isu yang sulit dipisahkan dari masyarakat Indonesia. Anggota Komisi III DPR RI Taufiqulhadi menyatakan pasal penodaan agama dalam RKUHP semata-mata dibentuk untuk melindungi seluruh agama dan pemeluknya di Indonesia.

Dalam Pasal 304 draf RKUHP, setiap orang yang menyatakan perasaan atau melakukan hal bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama, akan dipidana dengan hukuman penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak kategori V.

Mendengar bunyi pasal tersebut, pandangan masyarakat tampaknya berbeda. Pasal penodaan agama ini justru dipandang kurang terstruktur, sehingga berpotensi diskriminatif.

Rumusan KUHP itu sebenarnya telah dibuat sejak 50 tahun yang lalu. Namun hingga kini, belum juga menjadi perundang-undangan. Adapun KUHP yang selama ini berlaku di Indonesia adalah peninggalan kolonial Belanda, dengan nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang berlaku berdasarkan Staatsblad 1915:732.

11. Pasal 252, Terbukti Nyantet, Masuk Penjara

Pasal lain yang juga tidak kalah mengundang kontroversi adalah munculnya hukuman bagi orang yang menyatakan dirinya punya kekuatan gaib, memberitahukan, memberi harapan, menawarkan, atau memberi bantuan jasa ke orang lain hingga menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik dapat dipidana tiga tahun penjara atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Hal itu tentu saja mengundang banyak pertanyaan. Karena bagaimana caranya pemerintah bisa membuktikan hal yang gaib. Ditambah, baru kali ini hal yang sifatnya tak kasat mata, metafisika.

Bicara soal negara, memang tidak ada habisnya. Tapi kalau urusan asuransi dan kartu kredit, CekAja punya banyak produk yang menawarkanmu berbagai keuntungan dalam hidup.