7 Kesulitan Finansial yang Sering dialami Kelas Menengah yang Susah Kaya

tips anti bangkrut _ investasi - CekAja.com

Istilah kelas menengah sering diasosiakan sebagai golongan mampu. Hanya saja, mereka masih mungkin mengalami penurunan status sosial dan finansial.

Mereka yang termasuk dalam kelas menengah tidak kaya, tidak juga miskin,tapi berada di tengah-tengah. Istilah ini juga dipakai untuk mendeskripsikan karakter dan angka penghasilan yang wajar. Kelas menengah tidak hidup dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Kehidupan primer dan sekunder mereka telah terpenuhi dan mereka punya akses ke beberapa kebutuhan tersier.

Apakah kamu termasuk kelas menengah? Menurut Diana Farrell, Wakil Direktur Dewan Ekonomi Nasional Amerika, seseorang dikatakan kelas menengah ketgika sepertiga pendapatan yang tersisa digunakan untuk kebutuhan sekunder dan tersier setelah kebutuhan primer terpenuhi.

Namun kini, kebutuhan sekunder terasa semakin sulit dijangkau. Kebutuhan primer seperti perumahan juga semakin sulit. Tak jarang mereka yang masuk dalam kelas menengah alami rangkaian kesulitan finansial. Apa saja yang menjadi kesulitan finansial para kelas menengah?

Belum mampu beli rumah

Gaji lebih dari cukup, pekerjaan pun terbilang mapan. Tapi membeli  rumah masih jadi  perkara sulit bagi kebanyakan kelas menengah. Para kelas menengah yang tinggal di kota besar tentunya ingin punya rumah dekat dengan kantor dan fasilitas umum lainnya. Tapi  harga rumah di pusat kota tidaklah murah.

Harga hunian bahkan bisa melonjak hingga 300% dalam 10 tahun ke depan. Wilayah-wilayah yang dulu tidak dilirik kini menjadi mahal setelah pemekaran dan dibukanya akses transportasi. Daripada tidak kunjung punya rumah, kelas menengah akhirnya mengambil Kredit Pemilikan Rumah (KPR)  yang artinya harus menyisihkan gaji paling sedikit 30% untuk membayar cicilan rumah.

Tidak punya uang untuk liburan

Liburan, baik itu ke luar negeri maupun hanya keluar kota TETAP membutuhkan biaya. Sehingga Kamu Adalah Kelas Menengah Yang Susah Kaya Jika Punya 10 Pemikiran Ini harus mengorbankan suatu hal untuk mendapatkan kesempatan berlibur.

Jika mengacu pada data di Amerika tahun 2014 lalu, sebanyak 54% responden rela tidak membeli barang-barang seperti TV atau elektronik demi bisa berlibur. Pengorbanan lainnya adalah mengurangi intensitas ke bioskop (47%), makan di restoran (43%), dan menahan diri untuk tidak membeli baju baru (43%).

Selain itu, iklim kerja yang kompetitif membuat karyawan memilih tidak mengambil cuti mereka. Mereka berpikir cuti dan liburan justru menguras tabungan sehingga mereka lebih memilih masuk kerja.

Alasan lain tidak berlibur adalah karena 40% dari pekerja di Amerika tidak ingin menghadapi tumpukan pekerjaan setelah selesai berlibur. Padahal,  penelitian justru menunjukkan jika liburan dapat meningkatkan produktivitas dan kesehatan.

(Baca:  Menikah dengan Jasa Wedding Organizer atau Bantuan Keluarga?)

Tidak mampu  beli asuransi

Kesehatan adalah kebutuhan primer. Karena merupakan kebutuhan primer, pasti kita berpikir hal ini tidak dinomorduakan oleh  mereka yang berpenghasilan menengah. Namun data yang dirilis Forbes menunjukkan jika pekerja di berbagai perusahaan besar-di mana kebanyakan dari mereka merupakan kelas menengah-hanya mengandalkan asuransi kesehatan dari kantor.

Alasannya karena asuransi pribadi terlalu mahal dan bukan kebutuhan mendesak selama biaya asuransi  masih ditanggung oleh kantor. Akibatnya ketika kelas menengah menderita penyakit serius, keuangan mengalami goncangan.

Tidak punya dana darurat

dana darurat _ investasi - CekAja.com

Hampir setengah dari orang Amerika tidak punya persiapan menghadapi masa depan. Berdasarkan survei Bankrate.com, 18% responden sama sekali tidak punya tabungan, sementara 28% punya tabungan lebih dari 5% pendapatan. Satu dari empat orang Amerika menyimpan tidak lebih dari 10%, dan satu dari tujuh orang menabung lebih dari 15%. Jadi, kesimpulannya mereka tidak memiliki dana darurat yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan mendadak.

Tidak mampu bayar perawatan anak

Membesarkan anak di era milenium tidak bisa dibilang murah. Kehadiran anak berarti membutuhkan ruangan tambahan yang artinya harus merenovasi  rumah. Belum lagi baju yang harus dibeli setiap dua bulan sekali (karena bayi cepat tumbuh besar), popok, susu, mainan, serta kesehatan.

Setiap orangtua pasti ingin mengupayakan pendidikan yang terbaik untuk anak. Untuk mendapatkan yang terbaik, anak pun dimasukkan ke sekolah tertentu bahkan sejak batita. Tidak  jarang  biaya masuk TK zaman sekarang sama dengan biaya pangkal masuk kuliah jalur SNMPTN atau sekitar Rp6 juta.

Merasa bioskop makin mahal

Nonton film favorit dengan layar lebar dan sound sistem mendukung pasti menyenangkan. Namun tiket bioskop semakin mahal setiap tahunnya. Jika setiap nonton di akhir pekan harus merogoh kocek Rp50 ribu ditambah makan siang Rp50 ribu, sedangkan gaji yang diterima sehari yakni Rp200.000, itu artinya kelas menengah harus menyisihkan 10% dari gaji untuk nonton seminggu sekali.

Belum lagi jika pergi ke bioskop sekeluarga. Biaya nonton ke bioskop bisa sama mahalnya dengan mengajak anak-anak ke taman bermain.

Merasa investasi tidak  pasti menghasilkan

Cicilan rumah, cicilan kendaraan, biaya sekolah anak, tabungan liburan, dan tabungan pensiun, membuat kelas menengah sulit melakukan  investasi. Alasannya karena kebutuhan hidup semakin banyak sedangkan hasil investasi tidak bisa langsung dirasakan  dalam jangka pendek.

(Baca juga:  Apa itu Bitcoin? Benarkah Bisa Jadi Investasi Menguntungkan?)

Padahal hal inilah yang membuat kaum menengah susah kaya. Seperti kata Robert T. Kiyosaki dalam buku Second Chance, “Saat terjadi krisis, orang yang menabunglah yang paling merugi.