Alasan Mengapa Evolusi Robot Lebih Berbahaya untuk Pekerja Perempuan
3 menit membacaCara kerja manusia terus berubah hingga akhirnya menyentuh titik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Digitalisasi, kecerdasan buatan dan juga otomasi mesin akhirnya menghilangkan beberapa bagian pekerjaan. Hal itu baik untuk jenis pekerjaan yang sifatnya mudah, menengah hingga pekerjaan yang membutuhkan keahlian dan tugas rutin.
Bahkan, riset Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan penggunaan teknologi robot lebih mengancam keberadaan pekerja perempuan. Maklum, rata-rata, wanita menghadapi risiko kehilangan pekerjaan 11 persen lebih tinggi ketimbang pria yang hanya berisiko 9 persen.
Riset tersebut juga memproyeksikan pada 20 tahun mendatang sekitar 26 juta perempuan di 30 negara berisiko tinggi untuk digantikan pekerjaannya oleh teknologi robot.
Pekerjaan yang selama ini dilakukan oleh wanita memiliki tingkat probabilitas 70 persen lebih tinggi tergantikan lewat otomasi, hal itu dapat diterjemahkan bahwa sekitar 180 juta pekerjaan yang dilakukan perempuan bakal tergantikan oleh proses otomasi.
Inilah dampak yang harus dihadapi pada perempuan akibat adanya kesetaraan gender di lingkungan pekerjaan. Nah sekarang yang harus dipastikan adalah, bagaimana kebijakan negara, apakah negara dapat memastikan bahwa perempuan tetap dapat berkontribusi terhadap perekonoian saat semuanya sudah mulai bergerak ke arah otomatisasi?
(Baca juga: Yuk Mengenal Virtual Asisstant di Dunia Perbankan)
Perempuan punya risiko lebih tinggi
Upaya yang muncul dari kebijakan-kebijakan guna meningkatkan jumlah pekerja perempuan dan menaikkan upah pekerja perempuan bakal cepat terkikis jika kebanyakan perempuan berada pada sektor pekerjaan yang memiliki potensi ke arah otomatisasi.
Wanita yang berusia 40 tahun atau lebih, lalu wanita yang bekerja di bidang administrasi, pelayanan dan juga penjualan berada pada risiko untuk digantikan posisinya oleh teknologi.
Hampir 50 persen wanita dengan tingkat pendidikan SMA atau dibawahnya berisiko tinggi pekerjaannya tergantikan oleh teknologi, dibandingkan dengan 40 persen pria dengan tingkat pendidikan yang sama.
Nah untuk wanita yang memilki pendidikan strata satu atau diatasnya tetap berisiko tergantikan pekerjaannya, namun persentasenya hanya 1 persen.
(Baca juga: Teknologi Makin Canggih, Tapi 6 Pekerjaan Ini Sulit Tergantikan Komputer)
Peluang dan tantangan
Saat ini perempuan yang bekerja di bidang teknolohi ataupun informasi teknologi (IT) kurang terwakilkan keberadaannya. Lihat saja di sektor teknologi, perempuan yang menduduki posisi manajer atau professional 15 persen lebih rendah ketimbang pria.
Selain itu, 19 persen kebanyakan hanya menjadi staf dan jenis pekerjaan rutin lainnya yang akhirnya membuat wanita berada pada risiko tinggi tergantikan oleh teknologi.
Analisa IMF menunjukkan bahwa adanya perbedaaan dalam rutinitas pekerjaan memperparah ketidaksetaraan gender dalam pengembalian tenaga kerja.
Bahkan setelah memperhitungkan faktor-faktor seperti perbedaan keahlian, pengalaman dan pilihan pekerjaan, terdapat selisih upah antara pria dan wanita sekitar 5 persen. Di Amerika Serikat (AS), wanita kehilangan 26 ribu dolar AS pendapatannya selama mereka bekerja.
Namun ada bebeapa titik terang, di beberapa negara maju dan berkembang, khususnya untuk negara yang memiliki banyak penduduk usia lanjut, pekerjaan bertumbuh secara tradisional.
Di mana wanita mendominasi sektor pekerjaan seperti kesehatan, pelayanan masyarakat atau jenis pekerjaan yang memerlukan kecerdasan kognitif dan interpersonal, dengan begitu wanita menjadi kurang rentan terhadap otomatisasi.
Populasi yang didominasi oleh masyarakat usia lanjut membutuhkan pekerja yang lebih manusiawi dan mampu menggunakan teknologi robot, kecerdasan buatan dan teknologi canggih lainnya untuk melengkapi dan meningkatkan produktivitas pekerja dalam pelayanan kesehatan.
(Baca juga: Aturan Baru, Gaji Pegawai Honorer Bakal Sama Dengan PNS!)
Kebijakan yang Berjalan
Pemerintah perlu memberlakukan kebijakan yang mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan dalam mengubah lanskap kerja. Seperti dengan menyediakan lapangan pekerjaan khusus wanita dengan keterampilan yang tepat.
Investasi awal yang bisa dilakukan pada wanita seperti pada program Girls Who Codein di Amerika Serikat. Melalui hal itu dapat membantu memecah stereotip jender dan meningkatkan perempuan dalam bidang ilmiah.
Negara-negara dapat mengatur secara relevan proses rekrutmen dan retensi target untuk perusahaan seperti yang dilakukan di Norwegia. Disamping itu negara juga dapat membangun program mentoring dan pelatihan untuk mempromosikan perempuan ke posisi manajerial dan menjembatani kesenjangan digital gender.
Pemerintah memiliki peran untuk masuk melalui investasi publik dalam modal infrastruktur. Mereka juga menjamin akses yang sama terhadap keuangan dan konektivitas, seperti di Finlandia. Setiap negara dapat membantu kelas pekerja dengan mengubah pekerjaan dengan pelatihan untuk menghadapi otomatisasi.
Pelatihan yang dilakukan seperti akun pelatihan individu di Perancis dan Singapura. Disamping itu sistem perlindungan sosial juga harus beradaptasi dengan bentuk-bentuk baru pekerjaan.
Otomasi membuat usaha yang selama ini dilakukan terus didorong menjadi lebih keras lagi agar pria dan wanita memilki kesempatan yang sama untuk berkontribusi terhadap dunia dan merasakan manfaat dan kemampuan dari hadirnya teknologi baru.