Awas, Koruptor Bisa Dihukum Mati!

Presiden Joko Widodo melontarkan pernyataan yang menarik kala menghadiri peringatan Hari Anti Korupsi sedunia si SMK 57 Jakarta. Orang nomor satu di negeri ini mengatakan bahwa hukuman mati bagi koruptor bisa dilakukan asal ada kehendak rakyat.

Awas, Koruptor Bisa Dihukum Mati!

Pernyataan itu keluar lantaran ada salah satu murid SMK yang menanyakan keberanian pemerintah untuk menghukum mati para pelaku tindak pidana korupsi.

Maklum, jika di negara-negara maju, pelaku tindak pidana korupsi sudah harus siap menghadapi hukuman terburuk yang diterimanya, yaitu mati.

Hukuman Mati Untuk Koruptor Ada di UU

Di Indonesia sendiri, perihal pemberian hukuman mati bagi koruptor sejatinya sudah termaktub dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang kemudian di ubah dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam Pasal 2 ayat 1 berbunyi, bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup.

Atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Kemudian di ayat 2 disebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Keadaan tertentu yang dimaksud disini adalah tindak pidana dilakukan ketika negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam, mengulang tindak pidana korupsi atau negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Jadi sebenarnya, pemberian hukuman mati kepada koruptor dapat dilakukan karena sudah terdapat payung hukumnya.

Dampaknya yang merembet ke berbagai sektor, membuat tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai tindak pidana khusus.

Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat mengkaji pemberian hukuman mati bagi salah satu terpidana kasus korupsi, Bupati Kudus Muhammad Tamzil.

Dia pernah terbukti bersalah atas korupsi dana bantauan sarana dan prasarana Pendidikan untuk tahun anggaran 2004 – 2005.

Kala itu Tamzil hanya dijatuhi hukuman 22 bulan penjara dan denda Rp100 juta. Hukuman tersebut tampaknya tidak membuatnya jera, pada tahun 2019, Tamzil kembali terjerat kasus suap jual beli jabatan di lingkungan Kabupaten Kudus untuk tahun anggaran 2019.

Karena tindak pidana yang dilakukannya berulang, menjadi dasar bagi KPK untuk mempertimbngkan hukuman mati bagi Tamzil. Adapun salah satu negara yang sudah melaksanakan hukuman mati bagi koruptor adalah China.

(Baca juga: Dampak Korupsi di Indonesia Bagi Perekonomian)

Lemahnya sinergitas

Tamzil bisa kembali duduk sebagai pejabat pemerintahan merupakan bukti bahwa sinergitas diantara Lembaga negara sangat lemah.

Karena seharusnya, seorang pejabat negara harus dilahirkan dari kebiasaan dan budaya yang bersih.

Apalagi, pejabat negara juga merupakan role model bagi masyarakat. Pencabutan hak politik bagi seorang koruptor sebenarnya bisa dilakukan, asal para elite bisa duduk Bersama dan menyepakati bahwa tidak ada kompromi bagi korupsi.

Dengan dicabutnya hak politik, kemungkinan bakal membuat efek jera bagi calon-calon koruptor berikutnya.

Namun sayangnya, langkah yang sudah masuk dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan KUHP itu masih belum dapat dilakukan karena diduga bisa merampas Hak Asasi Manusia (HAM).

Tetapi bukankah perilaku korupsi yang dilakukan oleh para koruptor pada akhirnya juga bisa merampas HAM ribuan bahkan jutaan masyarakat?

(Baca juga: Negara Terkorup hingga Jumlah Fantastis Uang Korupsi, Cek Yuk!

Koruptor Dimiskinkan?

Ulah para koruptor yang dengan entengnya mengeruk uang negara membuat pemerintah menelurkan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam peraturan tersebut, pemerintah mampu merampas aset yang dimiliki oleh koruptor untuk akhirnya diambil alih negara.

KPK sendiri sejak tahun 2014 hingga awal 2019 sudah berhasil mengembalikan uang hasil pidana korupsi ke kas negara sebesar Rp1,69 triliun.

Padahal, jika dilihat dari beberapa kasus mega korupsi yang sudah ditangani KPK nilainya sudah mencapai puluhan triliun.

Seperti pada kasus suap Bupati Kotawaringin Timur, Supian Hadi dimana negara tercatat mengalami kerugian senilai Rp5,8 triliun dan US$711 ribu, kemudian kasus korupsi lawas, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menyebutkan bahwa negara mengalami kerugian Rp3,7 triliun.

Ada juga kasus penyelewengan dana E-KTP oleh Setya Novanto, dimana negara mengalami kerugian Rp2,3 triliun.

Lalu ada kasus korupsi dalam proyek pembangunan sarana olahraga di Hambalang yang menyebutkan bahwa negara mengalami kerugian Rp706 miliar.

Rentetan kasus besar tersebut belum memperhitungkan kerugian negara akibat kasus korupsi lainnya yang nilainya bervariasi antara ratusan juta hingga ratusan miliar.

Padahal jika pemerintah bisa memiliki kekuatan yang cukup untuk menyita seluruh aset para koruptor, kemungkinan pengembalian uang negara bisa menjadi lebih besar lagi.

Bagaimanapun, korupsi merupakan kasus yang harus dilawan oleh setiap elemen bangsa. Melalui revolusi budaya dan juga revolusi mental, tindak pidana korupsi bisa lebih diminimalisir dan dihindari.

Menjadi seorang wirausahawan yang jujur juga merupakan salah satu langkah untuk mengurangi angka korupsi. Butuh modal, akses CekAja.com