Ingin Geluti Peluang Bisnis? Belajarlah dari Budaya Perusahaan di Jepang Berikut
3 menit membaca
Kabar ditutupnya pabrik Panasonic dan Toshiba di Indonesia memang mengejutkan. Dua perusahaan asal negeri Sakura tersebut dikenal sebagai merk mapan dengan produk berkualitas. Namun keduanya akhirnya menyerah menghadapi gempuran produk asal China dan Korea Selatan. Meski keduanya tidak benar-benar hengkang dari Indonesia, banyak karyawan yang harus menerima keputusan PHK.
Tak lama berselang, Rakuten Indonesia juga mengumumkan menutup lapak mulai Maret 2016. Selain karena konflik internal dengan partner bisnis, Rakuten sepertinya sulit bersaing dengan e-commerce sejenis. Di sisi lain, investor-investor asal China semakin gencar menanamkan investasi di Indonesia.
Sebut saja produsen otomotif SAIC-GM-Wuling (SGMW) yang membangun pabrik mobil di Bekasi, Jawa Barat, dengan nilai investasi sebesar Rp 9,7 triliun. Tidak lama lagi perusahaan asal Negeri Tirai Bambu, Skyworth, juga akan mengakuisisi pabrik televisi dan mesin cuci milik Toshiba di Indonesia.
Sejak dulu Jepang terkenal sebagai pelopor teknologi. Tapi mengapa sekarang raksasa elektronik ini tumbang? Kamu yang sedang membangun startup atau berniat membangun bisnis sendiri harus menyimak alasan-alasan berikut sebagai bahan pembelajaran.
Budaya Senioritas Cukup Tinggi
Kalahnya produk-produk saat ini berawal dari budaya manajemen di dalam perusahaan asal Jepang yang terlalu mengagungkan senioritas. Lingkungan perusahaan pun jadi kurang dinamis. Menghormati yang lebih tua memang penting, tapi kalau sampai menghambat proses pengambilan keputusan, perusahaanlah yang merugi.
Akibat dari senioritas ini, kaum muda di perusahaan-perusahaan Jepang jarang diberikan ruang untuk melontarkan ide-ide kreatif dalam rangka perkembangan sebuah produk. Padahal ide-ide anak muda seringkali segar dan penuh inovasi, namun para petinggi perusahaan Jepang takut mengambil risiko menggunakan ide mereka karena menilai belum kompeten.
(Baca juga: Perbedaan Tabungan Syariah dan Tabungan Konvensional)
Orang Jepang Tidak Terbiasa Pindah Perusahaan
Perusahaan Jepang cenderung memilih lulusan baru tanpa pengalaman untuk dididik sehingga memiliki loyalitas tinggi terhadap perusahaan. Berbeda dengan di Indonesia di mana menjadi “kutu loncat” untuk mengejar gaji yang lebih tinggi atau passion pribadi merupakan suatu hal yang umum, di Jepang ada istilah lifetime employment yang menggambarkan kesetiaan karyawan pada perusahaannya.
Perusahaan di Jepang memperlakukan karyawan bak berinvestasi. Karenanya, karyawan diberikan pelatihan dan dana untuk pengembangan diri, sehingga diharapkan bisa betah dan berkontribusi untuk memajukan perusahaan. Perusahaan di Jepang justru melihat orang yang sering pindah kerja tidak mempunyai banyak skill dan tidak profesional.
Oleh karenanya, tak jarang seseorang akan bekerja di suatu perusahaan sejak pertama kali berkarier sampai pensiun. Budaya stagnan ini tentu saja tidak memberi kesempatan pergantian pegawai yang memungkinkan lahirnya ide-ide segar untuk perusahaan. Kesetiaan mereka salah satunya disebabkan karena orang Jepang sangat takut kehilangan pekerjaan.
Harga Produk-Produk Jepang Lebih Mahal
Produk-produk asal perusahaan Jepang memang lebih mahal meski harga tersebut sebanding dengan kualitas. Sebaliknya, produk-produk China murah karena ongkos produksi rendah meski kualitasnya tidak begitu bagus. Tapi daya beli masyarakat Indonesia yang rendah membuat kebanyakan orang lebih memilih produk murah dibandingkan kualitas.
“Orang Indonesia yang penting harganya, kualitas dinomorduakan. Ibu-ibu kalau ada yang lebih murah akan dicari ke sana, padahal jaraknya lebih jauh, ongkosnya lebih mahal,” ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Haris Munandar seperti dikutip dari Liputan6.com.
(Baca juga: 5 Cara Mencari Pekerjaan Sampingan)
Upah Tenaga Kerja Jepang Lebih Mahal
Kalau kamu berkunjung ke Jepang, kamu pasti merasa harga-harga di sana mahal sekali. Bahkan Tokyo termasuk ke dalam deretan kota-kota termahal di dunia. Tapi biaya hidup yang mahal sebanding dengan upah yang diterima orang Jepang. Fresh graduate di Jepang mendapatkan gaji mulai dari 200.000 yen per bulan atau sekitar Rp23,6 juta. Sedangkan buruh garmen digaji mulai dari 128.000 yen per bulan atau sekitar Rp15,1 juta. Hal seperti inilah yang menajdi beban bagi biaya produksi produk-produk Jepang.
Sedangkan gaji pekerja China masih ada yang setara dengan UMP Indonesia. Meskipun berdasarkan survey yang dikutip dari Shanghaidaily.com, gaji fresh graduate di China jauh lebih tinggi dari gaji fresh graduate Indonesia yang berkisar di Rp 3 juta-an. Di China, para sarjana muda minimal mengantongi 3.667 yuan atau sekitar Rp7,5 juta.
Jepang Kalah Cepat Mengembangkan Teknologi
Sebagai contoh, sebuah ponsel A keluaran Jepang dibandrol Rp7 juta dengan spefisikasi kamera depan 16MP, RAM 2 GB, Internal 16 GB, dan Corning Gorilla Glass 3. Sedangkan ponsel B keluaran Korea Selatan memiliki semua keunggulan ponsel B dengan tambahan teknologi finger print dan dihargai Rp6 juta. Tiga bulan kemudian, produsen Korea Selatan kembali mengeluarkan seri terbaru yang lebih canggih dengan harga lebih kompetitif. Sedangkan produsen Jepang baru merilis produk baru enam bulan kemudian. Inilah yang terjadi saat ini.
Produk asal Jepang dinilai kalah cepat mengembangkan teknologinya. Sony bahkan tercatat kalau kinerja keuangannya kembali positif untuk pertama kali dalam dua tahun terakhir. Akan tetapi seperti yang dikutip dari Liputan6.com, sejumlah pengamat menilai kalau perusahaan-perusahaan Jepang terlalu lambat untuk menyingkirkan unit divisi bisnis yang merugi.