Makanan Tradisional Indonesia Ini Harganya Melejit Ketika Dijual ke Luar Negeri, Apa Sebabnya?
3 menit membaca
Keberagaman suku dan budaya membuat Indonesia memiliki kekayaan cita rasa yang dituangkan dalam berbagai masakan tradisional.
Sebanding dengan kelezatannya, masakan Indonesia sering dianggap berbumbu yang ribet, cara memasak lama dan sulit, serta bahan-bahannya sulit didapatkan.
Keluhan ini rupanya ditangkap oleh mereka yang berotak bisnis. Tidak hanya digemari di Indonesia saja, produk mereka pun laris manis dipasarkan ke luar negeri. Inilah lima makanan tradisional Indonesia yang jadi populer di luar tanah air.
Nasi Liwet instan

Bisnis M Riza Rikiansyah, salah satu pendiri dari wirausaha Nasi Liwet Instan Pandanwangi iniberawal melihat potensi produksi beras yang melimpah serta kebiasaan ‘ngeliwet’ di daerah kelahirannya Cianjur.
Kira-kira sekitar bulan Agustus 2013, tercetus ide mengemas nasi liwet ke dalam bentuk yang lebih praktis, tahan lama, dan mudah dibawa kemana-mana.
Di dalam satu kotak nasi liwet Instan Pandawangi berisi beras, minyak goreng, bumbu rempah-rempah, serta lauk sesuai varian rasa. Riza memiliki misi untuk membawa budaya makan liwet ini yang awalmya berasal dari desa ke kota.
Namun rupanya tak hanya sukses di dalam negeri, produknya ini mendapatkan banyak pesanan dari kedutaaan besar Indonesia di Iran, Arab Saudi dan Jepang.
(Baca juga: Bukan Jualan Gorengan! Ini Ide Bisnis Keren Dengan Modal di Bawah Rp 500 ribu)
Riza tak sendirian. Tepatnya pada 2011, Andris Wijaya terlebih dahulu mempopulerkan merk nasi liwet CV 1001 dengan beras asli Garut. Nasi liwet produksinya hanya butuh dimasak 20 menit dan tetap enak jika dimasak di rice cooker.
Rasanya pun bermacam-macam mulai dari original, cumi, teri, jambal, hingga petai. Sejumlah pesanan datang dari Dubai, Singapura, hingga Eropa. Omzetnya pun mencapai Rp400 juta per bulan.
Rendang dan jengkol kemasan

Nova Aditya Pambudi, pengusaha makanan siap saji asal Bogor telah menekuni usaha masakan tradisional Indonesia dalam kemasan sejak 2014 lalu.
Makanan produksinya bisa langsung dimakan dan tahan sampai 14 bulan dalam suhu normal. Terdapat beragam pilihan seprti rendang sapi, semur sapi, kare, opor, hingga rendang jengkol.
(Baca juga: Konsumsi Makanan Ini Kalau Ingin Langsing dan Cepat Kurus)
Dengan kisaran harga Rp 30 ribu sampai Rp 40 ribu per kemasan, rendang kemasan miliknya bisa dimakan oleh satu sampai tiga orang. Omzet yang didapatkan mencapai Rp15 juta dan masih akan berambah.
Kini Nova tengah membidik pasar internasional khususnya Asia. Sebagai perkenalan, ia berencana menyasar jemaah umroh, PJTKI, dan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).
Pepes ikan

Dalam pameran produk makanan dan minuman Foodexpo 2016 yang berlangsung di Herning, Denmark, pada 6-8 Maret 2016 lalu, rupanya pepes ikan menjadi primadona. Pepes disukai karena dinilai unik dan benar-benar baru bagi warga Denmark.
Pepes ikan dalam pameran tersebut memang dijual dengan harga promosi sesuai permintaan pengunjung. Menurut Atase Perdagangan Konpenhagen Ima Siti Fatimah, pihak KBRI telah menyiapkan strategi dalam waktu dekat untuk menindaklanjuti para buyer potensial tersebut.
Nantinya, pepes dan makanan-makanan asli Indonesia lain akan dipasarkan melalui website Dini’s (dinisrestaurant.dk). Dini’s adalah salah satu masyarakat Indonesia yang sudah memiliki restoran Indonesia di daerah Horsens, Denmark yang bekerja sama dengan importir Belanda dalam memasok bahan-bahannya.
Tempe

Tempe memang semakin mendunia. Ada Ana, seorang wanita asal Prancis yang pernah mengenyam kuliah satu tahun di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dalam program pertukaran pelajar.
Sepulangnya ke Prancis, ia merindukan rasa tempe yang pernah dicicipinya di Indonesia. Tak ingin menunggu lama, ia pun belajarmemproduksi tempe sembari melanjutkan kuliah S-2 di Swiss.
Begitu lulus S-2, Ana melanjutkan bisnis tempenya di Prancis. Kini tempe buatannya terbukti banyak disukai konsumen dengan harga berkisar 4 euro-8 euro (1 euro setara Rp 15.000). Ana bermimpi tempe buatannya bisa menembus restoran-restoran di Prancis dan menyebar ke negara lain di Eropa.
Beralih ke Jepang ada Rustono, produsen tempe asal Indonesia yang produknya telah didistribusikan ke seluruh Jepang dengan harga 350 yen atau Rp 40.000 per 250 gram.
Perjuangan Rustono mengenalkan tempe pada masyarakat Jepang tidaklah mudah. Selama beberapa bulan pertama, produksi tempenya tidak laku dijual. Ia juga sempat empat bulan gagal memproduksi tempe karena perbedaan suhu dan kelembaban udara.
(Baca juga: Ini 5 Tips yang Bisa Bikin Bisnis Kulinermu Laris Manis)
Rustono kemudian belajar pembuatan tempe langsugn dari 60 perajin tempe tradisional di Indonesia. Ternyata dengan mempertahankan suhu ruangan produksi di atas 30 derajat celsius, dia tetap bisa memproduksi tempe meski di musim dingin.
Dia ketuk pintu berpuluh-puluh restoran namun penolakanlah yang didapat. Barulah saat seorang wartawan mengangakt perjuangannya ke dalam sebuah artikel, restoran yang pernah menolaknya menjadi pelanggan pertama.
Hingga kini, Rustono memproduksi tempe dengan ragi dari Indonesia dan memakai air langsung dari mata air di daerah Kyoto.
Di Australia, ada pula seorang warga lokal bernama Amita Buissink juga mencintai tempe. Dia bahkan memproklamirkan dirinya sendiri sebagai duta tempt. Amita memiliki bengkel produksi tempe, tepatnya di Margaret River Tempeh, Australia Barat.
Meski di Indonesia tempe dihargai murah, di Australia delapan kali lebih tinggi daripada di Indonesia. Pasalnya dia harus mengimpor ragi dari Indonesia, sedangkan keledai yang dia gunakan asli produk Australia. Kini dia bisa memproduksi 50 kilogram tempe dalam dua hari.