Mantap, Sampah di Singapura Bisa Jadi Listrik!

Permasalahan sampah merupakan topik usang yang sedari dulu belum memiliki jalan keluar yang pas. Hampir setiap negara masih berkutat dengan permasalahan yang sudah mengakar sejak puluhan tahun silam itu.

Bertambahnya sampah biasanya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Apalagi untuk Indonesia yang penggerak pertumbuhannya masih didominasi oleh sektor konsumsi.

Jadi semakin banyak orang yang berbelanja, maka semakin baik juga untuk geliat ekonomi bangsa. Berarti ekonomi bergerak, uang berputar.

Tetapi membincang belanja, tidak adil rasanya jika hanya menyinggung uang berputar dan barang dagangan yang laku. Kamu juga perlu ingat, sampah hasil belanja kamu.

Karena perlu diakui juga, setiap produksi suatu barang yang kemudian ada di pusat perbelanjaan menghasilkan sampah yang tidak sedikit. Besar kemungkinan, sampah yang dihasilkan sejalan dengan jumlah barang yang ada di pusat perbelanjaan itu.

Apalagi negeri ini belum terlalu ketat mengatur tentang penggunaan plastik. Jadi pemilik department store pun masih secara massal memesan plastik untuk kemasan sekaligus branding.

Padahal seperti diketahui, sampah plastik memilki waktu yang panjang untuk bisa diurai. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa masa daur ulang plastik secara organik bisa mencapai 500 tahun.

Sumbangsih sampah masyarakat dunia juga sudah cukup mengkhawatirkan. Setidaknya sekitar 1 juta ton sampah ‘sukses’ dihasilkan dari setiap rumah tangga setiap tahunnya.

Inovasi untuk sampah

Meskipun dinilai masih lemah dalam memberikan sanksi terkait sampah, tetapi pemerintah Indonesia juga sudah melakukan berbagai upaya untuk menekan jumlahnya. Mulai dari membatasi penggunaan plastik di beberapa department store hingga membuat plastik yang bisa didaur ulang.

Terbaru, Pemerintah juga berniat merubah limbah plastik untuk kemudian dijadikan sumber energi. Melalui kerjasama antara PT Indonesia Power dengan masyarakat, pemerintah berupaya memanfaatkan sampah yang dihasilkan oleh masyarakat agar bisa memilki nilai lebih.

Proyek tersebut berada di wilayah Kabupaten Klungkung, Bali dengan melibatkan kelompok usaha Tempat Olah Sampah Setempat (TOSS). Melalui kerjasama itu, sampah organik dan juga sampah plastik dipisahkan dan diproses hingga menjadi bentuk pellet.

Nah pellet inilah yang dijadikan sebagai bahan dasar untuk energi. Hasil olahan sampah itu bisa digunakan untuk menggantikan sumber energi rumahan hingga pembangkit. Mulai dari bahan bakar kompor hingga campuran batu bara kalori rendah di pembangkit.

Saking efisiennya penggunaan pellet dalam pengoperasian pembangkit listrik, pellet juga sudah didistribusikan ke PLTU jerangjang, Lombok. Tetapi sayangnya, program ini hanya dijadikan program corporate social responsibility (CSR) Indonesia Power.

Padahal melalui penelitian dan juga riset yang mendalam, efek yang dihasilkan tentu bisa berkelanjutan dan semakin efisien. Pasalnya nilai jual pellet hanya setengah dari harga batu bara kalori rendah yang bisa digunakan untuk memanaskan boiler pada pembangkit.

Mengacu pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Harga Batu Bara Acuan (HBA) untuk periode Maret 2019 berada di angka 90,57 dolar AS per ton. Artinya setiap kilogram batu bara dihargai sekitar Rp1.200-an. Bandingkan dengan harga pellet yang hanya mencapai Rp300 untuk setiap kilogramnya.

Belajar Sama Singapura Yuk!

Tidak semua negara mengalami kesulitan dalam menangani sampahnya. Singapura, negeri yang hanya seluas kota Jakarta itu ternyata memiliki kemampuan yang mumpuni dalam mengelola sampahnya.

Dengan jumlah penduduk yang mencapai 5,6 juta jiwa dan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara yang mencapai 18,5 juta jiwa di 2018 menjadikan Singapura sebagai negara yang cukup padat.

Terbayang juga tentunya berapa banyak sampah yang dihasilkan dari keseluruhan orang tersebut. Predikat smart city tampaknya memang layak disematkan di negeri Singa itu.

Pasalnya di sana terdapat sistem pengolahan sampah yang sangat canggih. Bahkan sampah-sampah tersebut berhasil diubah menjadi energi yang ramah lingkungan.

Ya, setiap harinya sampah dari seantero negeri dikumpulkan di tempat pembakaran yang mirip-mirip dengan bangunan pabrik. Nantinya sampah tersebut kemudian dibakar dengan suhu 1.000 derajat celsius.

Tungku pembakaran tersebut tidak pernah mati, alias hidup selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu dan 12 bulan selama setahun. Nah panas dari pembakaran sampah itulah yang kemudian dijadikan energi untuk menghidupkan listrik di Singapura.

Lalu bagaimana asap buangnya? Jangan khawatir, asap buang yang dihasilkan dari pembakaran terus menerus itu diklaim sudah aman dan layak di hirup oleh manusia.

Demi dapat menghasilkan lingkungan yang bersih dan sehat, Singapura sampai membuat pulau buatan guna menampung abu dari hasil pembakaran sampah tersebut. Posisi pulau tersebut tidak jauh dari lokasi Singapura, hanya berjarak 8 km dari daratan yang dipimpin oleh Lee Hsien Loong itu.

Pulau yang bernama Pulau Semakau itu sudah digunakan sejak tahun 1999. Tidak kurang dari 400 juta dolar digelontorkan pemerintah untuk menjadikan pulau tersebut teduh dan asri.

Ya, Negara yang hanya seluas satu wilayah administratif di Indonesia itu saja mampu mengelola sampahnya. Bagaimana dengan kita?

Singapura hanyalah salah satu negara yang sukses mengelola sampahnya, Jepang juga dan Maladewa juga merupakan negara yang fokus untuk menyingkirkan sampah.

Kedua negara tersebut sama-sama memilki pulau buatan untuk menghancurkan sampah, di Jepang pulau tersebut dinamakan Yumenoshima sedangkan di Maladewa dinamakan Pulau Thilafushi.

Apapun yang sudah dilakukan oleh ketiga negara itu patut diapresiasi. Pasalnya mereka sudah tidak berkontribusi terhadap pembentukan Floating Garbage Island yang terletak di Samudera Pasifik.

Pulau yang terbentuk karena bertumpuknya sampah dilaut akibat pusaran arus samudera itu merupakan bukti nyata bahwa masih banyak orang egois yang memiliki tingkat kesadaran rendah.