Orangtuamu Beli Rumah Saat Usia 30, Kenapa Kamu Belum Sanggup Mengikutinya Hingga Kini?
2 menit membacaPasti sering mendengar celetukan kalau hidup di zaman dulu lebih mudah daripada sekarang. Meski teknologi sudah semakin canggih, infrastruktur semakin bagus, orang zaman dulu cenderung lebih mudah mendapat pekerjaan dan mengumpulkan aset

Jika jaman dulu lulusan SMA bisa menjadi guru, kini menjadi guru minimal bergelar sarjana bahkan sudah banyak yang bergelar master. Begitupun dengan rumah.
Banyak dari orangtua kita yang sudah memiliki rumah tetap tanpa harus mencicil di awal usia 30-an. Sedangkan generasi kelahiran 80-90-an sulit rasanya memiliki rumah tanpa KPR.
Kenapa ya bisa begitu? Ini sederet alasan kenapa kamu tidak bisa beli rumah seperti orangtuamu di usia 30-an.
Harga Tanah Lebih Mahal
Tanah merupakan komoditi yang memainkan peranan penting dalam perekonomian, khususnya dalam ekonomi perkotaan.
Hal ini karena tanah menyangkut kebutuhan hidup orang banyak (seperti perumahan), juga sebagai faktor yang menentukan profit suatu bisnis (misalnya faktor lokasi tanah).
Perkembangan pesat yang terjadi di daerah sekitar perkotaan, mengakibatkan kebutuhan terhadap tanah semakin meningkat.
Menurut pengamat properti Anton DH Nugrahanto, beberapa faktor yang menyebabkan harga tanah semakin meningkat di antaranya; dibangunnya infrastrutur jalan tol, dibangunnya sistem kereta api dan hypermarket baru, adanya fasilitas pendidikan, dan dibangunnya rumah sakit besar.
Luas tanah perkotaan cenderung konstan sementara yang membutuhkan semakin banyak. Tak heran bila harga tanah di perkotaan semakin melonjak.
Sebagai contoh, harga tanah di kawasan Kelapa Gading, Jakarta, pada 2005 masih sekitar Rp 5 juta/meter persegi. Tapi, tahun 2012 harganya melonjak lebih 100% menjadi Rp 11 juta-Rp 12 juta/meter persegi.
Jakarta dan Bali termasuk ke dalam dua wilayah yang harga tanahnya sudah begitu mahal. Lonjakan harga properti di dua kota Indonesia ini mengalahkan berbagai kota-kota elite di dunia lainnya, seperti Dubai yang melonjak 20%, Miami naik 19,5%, dan Sao Paulo 14%.
(Baca juga: Ketahui Hal Ini Saat Jual Beli Tanah Agar Lebih Untung)
Biaya Hidup Lebih Tinggi
Harga tanah dan properti yang semakin mahal diikuti oleh biaya hidup yang makin tinggi akibat inflasi dan anjloknya rupiah. Contoh sederhananya adalah jika dulu kamu bisa puas jajan dengan uang Rp500, sekarang mungkin kamu hanya bisa mendapat dua atau tiga buah permen saja.
Biaya hidup di kota-kota besar pun lebih mahal daripada di desa atau pinggiran. Istilah “Zaman sekarang semua serba mahal” memang cocok untuk menggambarkan kondisi saat ini.
Gaya Hidup Lebih Konsumtif
Tahun 80-90an, jumlah pusat perbelanjaan atau mal belum sebanyak sekarang. Bahkan di Jakarta, jumlah mall yang mencapai 173 di tahun 2014 membuatnya menjadi kota dengan jumlah mal terbanyak di dunia.
Dalam laporan Global Cities Retail Guide 2013/2014 dari Cushman & Wakefield, lahan ritel di Jakarta telah tumbuh lebih dari 17%, atau hampir mencapai angka 4 juta meter persegi. Luas tersebut (nyaris) menyamai total 9 kali luas kota Vatikan!
Banyaknya mal ini juga secara tidak langsung mempengaruhi pola konsumsi kamu. Orang-orang zaman sekarang lebih senang menghabiskan liburan di mall karena berbagai fasilitas yang disediakan mulai dari sarana olahraga, entertainment, ragam kuliner, dan perbelanjaan.
Coba hitung, jika kamu berkunjung ke mall setiap akhir pekan untuk nonton bioskop dan minum kopi, berapa yang harus dikeluarkan? Belum lagi jika mata tergoda oleh diskon-diskon yang ditawarkan.
(Baca juga: Cara Hitung Pajak Bumi dan Bangunan dan Biaya Lainnya)
Perusahaan Banyak Berpikir Sebelum Berikan Fasilitas
Rumah dinas, kendaraan, bonus liburan adalah beberapa fasilitas yang diberikan perusahaan-perusahaan saat orangtua kita masih bekerja dulu. Tapi kini beragam fasilitas tersebut rasanya sulit didapat bahkan jika kamu sudah memiliki posisi di perusahaan.
Jangankan menikmati fasilitas perusahaan, memperjuangkan status dari karyawan kontrak menjadi karyawan tetap saja merupakan perjuangan tersendiri. Di tengah makin sengitnya persaingan kerja, gaji pokok tanpa embel-embel uang transport, pulsa, dan uang makan sudah dianggap wajar.