Pindah Ibu Kota Butuh Rp466 Triliun, Duitnya dari Mana Pak Jokowi?

Pemerintah mematangkan rencana pemindahan Ibu Kota Indonesia yang sudah dicetuskan sejak era Presiden Soekarno, namun tidak pernah direalisasikan oleh pemerintahan setelahnya.

Pindah Ibu Kota Butuh Rp466 Triliun, Duitnya dari Mana Pak Jokowi?

Kini, dalam Rapat Terbatas Kabinet Kerja yang berlangsung kemarin (29/30), Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk memindahkan status Ibu Kota ke luar Jawa.

Jokowi memperkirakan, Jakarta sebagai Ibu Kota negara tidak akan mampu memikul dua beban sekaligus yaitu sebagai pusat pemerintahan dan layanan publik, sekaligus pusat bisnis.

Menurutnya, jika pemerintah dan masyarakat sudah sepakat untuk menuju negara maju maka harus dilakukan pemisahan fungsi Ibu Kota seperti yang sudah dilakukan lebih dulu oleh negara lainnya.

Ia menyebutkan, beberapa negara yang sudah mengantisipasi perkembangan negaranya di masa yang akan datang dengan memindahkan pusat pemerintahannya antara lain Malaysia, Korea Selatan, Brazil, Kazakhstan, dan lain-lain.

“Sekali lagi, kita ingin kita berpikir visioner untuk kemajuan negara ini,” tegas Jokowi.

(Baca juga: Jadi Kandidat Ibukota, Ini 7 Wisata Wajib di Palangka Raya)

Meski sudah mengambil keputusan untuk memindahkan Ibu Kota, namun Jokowi menyebut untuk melakukannya diperlukan persiapan yang matang dan detail. Salah satunya adalah dalam memilih lokasi yang tepat dengan memperhatikan aspek geopolitik, geostrategis, kesiapan infrastruktur pendukungnya dan juga pembiayaannya.

Macet dan Banjir

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro mengungkapkan ada banyak faktor yang menjadi pertimbangan perlunya memindahkan Ibu Kota negara dari Jakarta.

Menurut Bambang, Jakarta adalah kota terburuk keempat di dunia berdasarkan kondisi lalu lintas saat sibuk dari 390 kota yang disurvei.

Begitu parahnya tingkat kemacetan di Jakarta, membuat komunikasi dan koordinasi antar kementerian lembaga kadang-kadang tidak efektif. Selain itu dari sisi ekonomi, kemacetan juga membuat kerugian mencapai hampir Rp100 triliun per tahun.

“Selain kemacetan, masalah yang harus diperhatikan di Jakarta adalah banjir. Tidak hanya banjir yang berasal dari hulu, tetapi juga ada penurunan muka tanah di Pantai Utara Jakarta, dan kenaikan permukaan air laut,” ujar Bambang.

Kondisi itu membuat separuh dari wilayah Jakarta masuk kategori rawan banjir atau memiliki tingkat kerawanan banjir di bawah 10 tahunan. Padahal, lanjut Bambang, idealnya sebuah kota besar kerawanan banjirnya bisa minimum 50 tahunan.

Atas kondisi itu, Bambang mengusulkan pemindahan Ibu Kota yang akan berfungsi sebagai Pusat Pemerintahan, yaitu eksekutif, kementerian/lembaga, legislatif parlemen (MPR/DPR/DPD), kemudian yudikatif; kejaksaan, Mahkamah Konstitusi (MK) dan seterusnya, kemudian pertahanan keamanan; Polri-TNI, serta kedutaan besar dan perwakilan organisasi internasional yang ada di Indonesia.

Sementara fungsi jasa keuangan, perdagangan dan industri, tetap akan di Jakarta, misalkan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

“Ini konsep yang kita coba tiru dari beberapa best practice yang sudah dilakukan di negara lain,” terang Bambang.

Butuh Dana Ratusan Triliun

Untuk memindahkan Pusat Pemerintahan tersebut, Bambang memperkirakan dibutuhkan dana sebesar Rp323 triliun sampai Rp466 triliun.

Skenario pertama yang menghabiskan biaya Rp466 triliun, dengan catatan pemerintah tidak mengurangi jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja pada Kementerian/Lembaga dan instansi pemerintah lainnya yang akan diboyong ke Ibu Kota baru.

Dengan skenario pertama, ibu kota baru diperkirakan akan memiliki penduduk 1,5 juta terdiri dari anggota eksekutif, legislatif, yudikatif, Polri, TNI kemudian anggota keluarganya.

“Dengan penduduk 1,5 juta, pemerintahan akan membutuhkan 5 persen lahan, ekonomi 15 persen, sirkulasi infrastruktur 20 persen, pemukiman 40 persen dan ruang terbuka hijau 20 persen. Kebutuhan lahannya minimal 40.000 hektare untuk skenario yang pertama, jelas Bambang.

Skenario kedua dengan biaya Rp323 triliun, apabila pemerintah mengurangi jumlah ASN. Maka jumlah penduduk di Ibu Kota baru diperkirakan angkanya hanya sebanyak 870 ribu jiwa, yang membutuhkan lahan lebih sedikit yaitu 30.000 hektare.

“Dari situ kita mencoba membuat estimasi besarnya pembiayaan tadi. Estimasi besarnya pembiayaan di mana skenario 1 diperkirakan kan membutuhkan biaya Rp466 triliun atau USD33 miliar. Skenario 2, lebih kecil karena kotanya lebih kecil yaitu Rp323 triliun atau USD23 miliar,” jelas Bambang.

Menurut Bambang, sumber pembiayaan bisa berasal dari empat sumber, yaitu dari APBN khususnya untuk infrastruktur dasar dan juga fasilitas kantor pemerintahan dan parlemen.

(Baca juga: Bingung Wisata di Jakarta? Cek Hal-hal yang Sering Terlupakan Soal Ibukota!)

Kemudian dari BUMN (Badan Usaha Milik Negara) untuk infrastruktur utama dan fasilitas sosial. Kemudian KPBU, Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha untuk beberapa unsur utama dan juga fasilitas sosial, dan swasta murni khususnya yang terkait dengan properti perumahan dan fasilitas komersial.

Usulan Kalimantan jadi Ibu Kota Baru

Meski pemerintah belum mengumumkan nama kota yang akan disulap menjadi Ibu Kota baru Indonesia, namun Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengungkapkan pendapat pribadi melalui akun Twitternya @Sutopo_PN soal kota yang ideal

“Pemerintah terus matangkan rencana pemindahan ibukota Indonesia. Kajian tahap awal dari Bappenas pemilihan wilayah ibukota mengerucut pada 3 kandidat, yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur karena aman dari gempa,” ujar Sutopo.

Kalau kebetulan kamu berprofesi sebagai ASN, tentu harus siap menerima keputusan pemerintah untuk memindahkan lokasi kantormu keluar Jakarta bukan? Nah, jangan lupa kalau butuh dana tambahan untuk persiapan pindahan nantinya, ajukan Kredit Tanpa Agunan (KTA) lewat CekAja.com.