Seperti Apa Gangguan Mental yang Dialami Joker?

Banyak hal yang menjadi sorotan dalam film Joker. Joaquin Phoenix disebut berhasil menghidupkan kembali karakter Joker. Perasaan depresi bahkan turut dirasakan penonton selama menyaksikan film garapan Todd Phillips tersebut.

gangguan mental

Selain totalitas akting pemain, gangguan mental yang dialami Arthur Fleck, identitas asli sang badut psikopat itupun turut menumbuhkan awareness khalayak akan mental health. Tidak ada manusia yang terlahir jahat, begitupun dengan Joker. Namun faktor depresi karena lingkungan pencemooh lah yang menumbuhkan jiwa keji nan penuh dendam pada dirinya.

Mengidap Pseudobulbar Affect (PBA)

Dalam film peraih The Golden Lion Awards ini, Joker diketahui mengidap Pseudobulbar Affect (PBA). Pengidap PBA sering kali mengeluarkan ekspresi yang berbeda dengan perasaan sebenarnya. Mengutip dari Mayo Clinic, bahkan mereka akan tertawa sampai beberapa menit, setiap kali merasa sedih atau gugup. Kondisi yang persis dialami oleh Arthur Fleck alias Joker. Sampai-sampai, ia harus membawa kartu bertuliskan deskripsi penyakit PBA agar orang disekeliling yang melihat sikapnya tersebut mengerti.

Kecenderungan yang aneh itu terjadi karena rusaknya saraf pada korteks prefrontal. Prefrontal merupakan area otak yang bertugas mengontrol emosi. Karena sistem kontrolnya terganggu, pengidap bisa tiba-tiba tertawa atau menangis dalam kondisi yang tidak sepatutnya.

Tak heran jika kebanyakan pengidap PBA, memilih untuk menjadi anti sosial. Lantaran malu dengan reaksi out of control mereka. Untuk kasus Arthur, ia bahkan harus menghadapi banyak masalah akibat gangguan tersebut. Seperti dimarahi ibu-ibu karena dianggap tertawa non-stopnya tidak sopan, sampai digebuki karena menertawakan sejumlah pria iseng di kereta.

Dengan kondisi seperti ini, mereka pun harus berjuang dua kali; mengatasi penyakit mereka, sekaligus mencoba tetap bisa menjadi ‘orang normal’ dalam pergaulan sosial. Dua hal yang gagal dilakukan Arthur, saking krisis dukungan moril dari lingkungan yang justru malah tak mengacuhkannya.

Bertubi-tubi tak diacuhkan dan menerima bullying secara fisik, Arthur lantas merasa dengan aksi kejahatan lah ia bisa lebih terlihat, ditakuti, sekaligus melampiaskan rasa sakit hatinya selama ini.

(Baca juga: 6 Rahasia Joker, Film Wajib Nonton Weekend Ini!)

Waspada Faktor Risiko PBA

Apakah PBA termasuk penyakit langka? Tidak juga. Di Indonesia, gangguan mental ini mungkin terdengar asing, malah bisa dihitung jari yang mengetahuinya. Dikutip dari pbainfo.org, Amerika Serikat memiliki catatan sejarah berebeda. Pengidap PBA di negeri Paman Sam tersebut berjumlah mencapai dua juta orang. Sedangkan pengidap gejala yang mirip PBA lebih banyak lagi, yaitu sampai enam juta orang!

Masih dari sumber tersebut, faktor risikonya cukup segmented. Artinya, hanya segelintir orang yang berpotensi mengidap PBA. Semisal pernah mengalami trauma otak (seperti yang dialami Arthur sejak kecil). Selain itu, bisa juga karena awalnya dipicu oleh penyakit stroke, alzheimer, multiple sclerosis, demensia, dan parkinson.

Selain PBA, Joker Pun Alami Skizofrenia

Penggemar DC Comics tentunya sudah hafal dengan tingkah Arthur Fleck yang kerap berdelusi. Hal ini bukan sengaja ia lakukan. Musuh bebuyutan Batman tersebut ternyata juga mengidap gangguan skizofrenia.

Alih-alih sadar, pengidap skizofrenia mengalami kesulitan untuk membedakan mana kehidupan nyata dan khayalan semata. Itu mengapa, Arthur sering kali berdelusi dengan skenario karangannya sendiri. Seperti mengencani wanita atau menjadi komika sukes hingga akrab dengan tokoh selebriti Murray Franklin.

Gangguan delusi ini pun dibagi ke dalam beberapa jenis. Dalam film Joker, kemungkinan besar ia mengalami waham kebesaran (grandiose). Dicirikan, penderita skizofrenia dengan delusi grandiose merasa punya rasa kekuasaan, identitas, kecerdasan yang membumbung tinggi. Bahkan meyakini bahwa dirinya sangat bertalenta. Mirisnya lagi, penderita juga sering berkhayal punya relasi khusus dengan public figure hebat. Padahal kenyataannya tidak demikian.

(Baca juga: Film Indonesia Wakili Oscar 2020, Ini 3 Kriteria yang Meloloskannya)

Penyebab dan Gejala Skizofrenia

Belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan skizofrenia. Akan tetapi, sejumlah analisis menyebut faktor genetik amat berperan dalam memicu timbulnya gangguan mental ini. Gambarannya kurang lebih begini, keluarga dengan penderita skizofrenia, 10% lebih berisiko menurunkan kondisi yang sama. Risiko menjadi 40% lebih besar apabila kedua orangtua sama-sama menderita penyakit tersebut.

Secara teknis, ketidakseimbangan kadar dopamin dan serotonin berisiko menimbulkan skizofrenia. Dopamin dan serotonin adalah bagian dari neurotransmitter, zat kimia yang berfungsi mengirim sinyal antar sel-sel otak.

Faktor risiko lain yang turut memicu skizofrenia, bisa juga disebabkan oleh beberapa kondisi di masa kehamilan. Di antaranya kekurangan nutrisi, paparan racun dan virus, preeklamsia, diabetes, serta pendarahan selama hamil.

Meski pemicunya cukup beragam, stres tetap menjadi faktor psikologis paling utama yang dapat menyebabkan skizofrenia kian menjadi-jadi. Entah itu stres karena perpisahan, Kekerasan fisik, ditinggal orang yang dicintai, pelecehan seksual, atau kehilangan pekerjaan.

Gejala skizofrenia muncul dalam hitungan bulan atau tahun. Selain halu, masih ada tanda-tanda lainnya yang umum dialami sang pengidap. Gaya bicara mereka sering kali tak beraturan, tingkah lakunya pun aneh. Di malam hari selalu kesulitan tidur atau insomnia, dan mudah emosi. Walaupun bisa terjadi tanpa memandang usia, skizofrenia cenderung muncul pada usia remaja atau menginjak usia 20 tahun.

Film stand-alone perdana dari lini terbaru DC Dark ini mendapat banyak reaksi positif dari penonton. Joker bukan hanya menyuguhkan cerita dan karakter yang kuat, namun secara tidak langsung juga meningkatkan kepedulian orang terhadap mental health.

Tak bisa dipungkiri, kesadaran akan mental health di beberapa negara memang masih tergolong rendah. Dalam satu adegan film Joker, Arthur Fleck sendiri sempat menuangkan kekacauan hati tentang hal ini pada jurnal yang dijadikannya media terapi; “The worst part about having a mental illness is people expect you to behave as if you DONT”.

Ya, jangankan gangguan mental. Stres pun kerap dipandang sebagai hal biasa sehingga kurang menjadi prioritas untuk cepat-cepat ditangani. Padahal semua gangguan mental berawal dari perasaan tersebut.

Pengidap bipolar saja, terkadang dianggap gila. Bagaimana orang-orang lain yang mengalami gangguan mental lebih parah? Keengganan untuk speak up karena takut dihujani judgment negatif inilah yang jika dibiarkan bisa membunuhnya pelan-pelan. Bahkan tak jarang pula, pengidap memilih untuk melampiaskan emosi mereka dengan berperilaku keji seperti yang dialami oleh Joker.