Sri Mulyani Tetap Duduk di Kursi Menkeu, Pasar Bersorak!

Sejumlah nama baru muncul dalam susunan kabinet Joko Widodo. Ada yang memberikan kejutan, namun beberapa posisi masih tetap diduduki oleh wajah lama, salah satunya adalah posisi Menteri Keuangan yang masih diduduki oleh Sri Mulyani.

Sri Mulyani Menteri Keuangan- CekAja

Kepala Ekonom DBS Indonesia, Masyita Crystallin mengatakan penunjukkan kembali Sri Mulyani sebagai Menteri keuangan di tengah volatilitas kondisi global merupakan hal yang positif.

Pasalnya terdapat sejumlah tantangan yang masih harus dihadapi oleh negeri ini seperti melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia, perang dagang dan beberapa isu geopolitik lainnya.

“Penetapan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan juga mendapat reaksi positif dari pasar, katanya melalui keterangan resminya.

Lebih lanjut dirinya memprediksi kementerian akan melanjutkan manajemen anggaran yang baik dan melanjutkan reformasi fiskal.

Manajemen anggaran yang baik sangat penting dalam kondisi yang volatile, karena anggaran pemerintah diperlukan sebagai stimulus di saat ekonomi sedang melemah (kontra siklus) dan secara bersamaan menjaga defisit agar tetap berada di koridor yang aman.

Kebijakan fiskal yang kontra siklus berarti pada saat perekonomian sedang lemah, stimulus fiskal dapat digunakan untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, Masyita juga menilai reformasi fiskal akan tetap menjadi prioritas. Hal tersebut sangat diperlukan untuk Indonesia karena rasio pajak yang masih kurang dari 12% di bawah rata-rata negara peers.

(Baca juga:  Lagi, Sri Mulyani Dinobatkan Sebagai Menteri Keuangan Terbaik Asia Pasifik 2019!)

Ekonomi Tumbuh Dibarengi Dengan Kenaikan Rasio Pajak

Untuk tumbuh lebih tinggi, Indonesia membutuhkan rasio pajak setidaknya 15%. Sedangkan mengenai kabinet baru secara keseluruhan, dirinyaa menilai cukup netral terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kabinet ini memiliki kombinasi antara partai dan profesional yang cukup baik. Terlepas dari latar belakang para menteri di kabinet Jokowi yang baru, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memastikan visi Jokowi dapat tercapai, yaitu Indonesia menjadi negara kaya di tahun 2045.

Untuk menjadi negara kaya, pertumbuhan negeri ini harus berada diatas 6%. Namun hal itu hanya bisa direalisasikan jika dilakukan pembaruan dalam mesin pertumbuhannya.

Saat ini perekonomian tanah air masih sangat bergantung pada sektor komoditas dan sektor-sektor dengan nilai tambah rendah. Sektor manufaktur, yang biasanya menjadi mesin pertumbuhan ekonomi bagi Korea Selatan dan Tiongkok, tumbuh sekitar 4% selama beberapa tahun terakhir, di bawah pertumbuhan ekonomi.

Untuk bisa tumbuh lebih tinggi revitalisasi sektor manufaktur sangat penting untuk dilakukan segera, dan dikhususkan untuk sektor dengan nilai tambah yang tinggi.

Selain itu, sektor yang perlu dikembangkan adalah sektor dengan penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi. Terutama karena setiap tahun ada tiga juta tenaga kerja baru yang perlu pekerjaan.

(Baca juga:  Mengintip Kinerja Sri Mulyani, Menteri Keuangan Terbaik Dunia)

Perubahan Nomenklatur Kementerian

Perubahan nomenklatur Kementerian Koordinator Kemaritiman menjadi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi sejalan dengan visi utama Jokowi dari lima tahun lalu, untuk tidak lagi memunggungi laut. Visi tersebut masih terus menjadi prioritas di periode kedua ini.

“Indonesia perlu menciptakan terobosan agar menjadi poros maritim dunia. Perbaikan infrastruktur untuk menurunkan biaya logistik dengan konektivitas antar pulau adalah fokus pemerintah yang berada di bawah koordinasi Kementerian Kemaritiman,” tambahnya.

Hal tersebut cukup baik jika dihubungkan dengan koordinasi investasi, sehingga hubungan antara prioritas pembangunan dan realisasi investasi dapat terpelihara dengan baik.

Selama ini Kementerian Kemaritiman sudah membuka beberapa peluang investasi, salah satunya terkait dengan Belt and Road Initiative agar Indonesia masuk ke dalam jalur sutra modern.

Konektivitas antar pulau perlu dikembangkan dengan baik untuk menurunkan biaya logistik secara keseluruhan.

Masyita juga melihat bahwa tantangan terbesar yang dihadapi Jokowi adalah terus melakukan reformasi, baik infrastruktur maupun infrastruktur lunak (kemudahan berbisnis).

Tantangan lainnya adalah menemukan mesin ekonomi yang dapat mendorong pertumbuhan di atas potensi sebesar 5% sambil mempertahankan stabilitas Rupiah.

Dengan permintaan domestik yang stabil, Indonesia dapat dengan mudah tumbuh di sekitar 5%. Meskipun yang menjadi tantangan adalah meningkatkan potensi pertumbuhan ke target pemerintah sebesar 6%.

Dalam jangka pendek, pertumbuhan global yang melambat mungkin berdampak pada pertumbuhan Indonesia, namun melihat pertumbuhan 1H19, stabilitas pertumbuhan Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan Emerging Market Asia lainnya.

Sayangnya, Indonesia belum menerima pengalihan produksi dari perang dagang, yang dapat menjadi terbalik bagi beberapa negara di Asia seperti Taiwan dan Vietnam.

(Baca juga:  Perang Janji Pertumbuhan Ekonomi Antara Jokowi dan Prabowo)

Stimulus Lewat Revisi Tarif Pajak

Risiko utama dalam jangka pendek adalah terus menurunnya harga komoditas, pertumbuhan investasi swasta yang lambat. Sedangkan dalam jangka menengah, untuk tumbuh di atas potensi, Indonesia perlu mengembangkan mesin pertumbuhan yang solid.

Dengan kondisi pertumbuhan yang lebih lambat, inflasi yang stabil dan Rupiah yang relatif stabil, Bank Indonesia memiliki lebih banyak ruang untuk memangkas suku bunga guna mendukung pertumbuhan.

Masyita melihat adanya potongan tambahan 25bps pada kuartal empat 2019. Revisi tarif pajak perusahaan dari 25% menjadi 20% hingga 2022.

Lalu pajak penghasilan untuk Initial Public Offering (IPO) menjadi 17% dan menghapuskan pajak penghasilan untuk pembayaran dividen bisa memberikan dampak positif terhadap ekonomi.

Tax holiday untuk industri perintis misalnya, mencatat nol pengeluaran pajak pada tahun 2016 dan 2017. Ada beberapa variabel lain yang lebih penting untuk keputusan investasi selain insentif pajak, seperti kemudahan berbisnis, biaya logistik yang tinggi, dan fleksibilitas pasar tenaga kerja.

Bagi investor asing dan prospek bisnis asing, Masyita menilai bahwa posisi Indonesia di mata investor masih sangat baik.

Potensi ekonomi negara yang merupakan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dengan populasi besar dan masih mendapat manfaat dari dividen demografis.

“Rupiah cenderung stabil hingga akhir tahun dengan asumsi aliran modal dan neraca perdagangan stabil. Rupiah diprediksi akan tetap sekitar 14.200-14.400 dan sedikit terdepresiasi pada tahun 2020 karena percepatan pembangunan infrastruktur dibandingkan 2019, pungkasnya.