Arti Bhineka Tunggal Ika dari Masa Sebelum Merdeka Hingga Era Digital

Selama beberapa tahun terakhir, ujian terhadap Indonesia datang dari berbagai hal, termasuk juga bagaimana perbedaaan Indonesia yang begitu besar seperti suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) kerap kali digunakan dengan cara yang kurang tepat dan dipolitisasi.

Arti Bhineka Tunggal Ika dari Masa ke Masa

Padahal, para pendiri bangsa sudah membuat semboyan yaitu Bhineka Tunggal Ika, untuk mempersatukan Indonesia yang sangat luas dan penuh keragaman.

Namun, hari-hari ini nampaknya banyak orang yang lupa apa arti dan makna dari semboyan negara Indonesia tersebut.

Jauh Sebelum Indonesia Merdeka

Frasa Bhinneka Tunggal Ika telah tercipta jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan penciptanya pun bukan seorang pejuang kemerdekaan.

Bhinneka Tunggal Ika adalah sebuah frasa yang terdapat dalam Kakawin Sutasoma. Kakawin sendiri berarti syair dengan bahasa Jawa kuno.

Dalam sebuah teks yang tercantum di Kakawin Sutasoma, dikatakan meskipun Buddha dan Siwa berbeda tetapi dapat dikenali, sebab kebenaran Buddha dan Siwa adalah tunggal. Berbeda tetapi tunggal, sebab tidak ada kebenaran yang mendua.

Kakawin Sutasoma merupakan karangan Mpu Tantular yang dituliskan menggunakan bahasa Jawa kuno dengan aksara Bali.

Kakawin Sutasoma dikarang pada abad ke-14. Frasa Bhinneka Tunggal Ika sendiri terdapat dalam petikan pupuh 139 bait 5 pada Kakawin Sutasoma.

Arti Petikan Awal Bhineka Tunggal Ika

Petikan awalnya Bhineka Tunggal Ika adalah Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Artinya adalah Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?

Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Sementara itu, bila diterjemahkan tiap kata, Bhinneka punya arti beraneka ragam. Kata tunggal berarti satu dan ika berarti itu.

Sehingga, bila mengacu berdasarkan arti secara harfiahnya Bhinneka Tunggal Ika memiliki arti beraneka ragam itu satu.

Bhineka Tunggal Ika di Masa Kemerdekaan

Adapun pada masa perjuangan kemerdekaan, Bhineka Tunggal Ika muncul saat sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) berlangsung pada Mei-Juni tahun 1945.

Mohammad Yamin menjadi tokoh yang beberapa kali menyebut kalimat Bhinneka Tunggal Ika. Mohammad Yamin dikenal merupakan tokoh bahasa dan kebudayaan yang memiliki ketertarikan dengan hal-hal yang berkaitan dengan Majapahit.

Selanjutnya, I Gusti Bagus Suwira yang berasal dari Buleleng menyambung kalimat Bhinneka Tunggal Ika yang dilontarkan oleh Mohammad Yamin dengan kalimat Tan Hana Dharma Mangrwa yang berarti tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Hingga akhirnya kalimat Tan Hana Dharma Mangrwa dijadikan sebagai motto Lembaga Pertahanan Nasional dan Bhinneka Tungga Ika menjadi semboyan Bangsa Indonesia.

(Baca Juga: Jokowi: Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Modal Indonesia jadi Negara Terkuat di Dunia!)

Tetapi sebelum diusulkan menjadi semboyan negara, pada tahun 1888 Bhinneka Tunggal Ika diselidiki oleh Prof. Kerf dan disimpan di perpustakaan Leiden, Belanda.

Awalnya Bhineka Tunggal Ika dipakai oleh Bapak Bangsa untuk mempersatukan bangsa Indonesia, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari segi budaya, agama, adat istiadat, dan tingkah laku untuk menuju ke satu tujuan yaitu persatuan tanpa membeda-bedakan satu sama lain.

Prinsip Bhineka Tunggal Ika

Pada dasarnya, Bhinneka Tunggal Ika memiliki prinsip yang melatar belakanginya, salah satunya yaitu persamaan secara umum, yang bisa diartikan sebagai modal masyarakat Indonesia bahwa setiap perbedaan pasti terdapat sebuah persamaan, sehingga tidak perlu diperdebatkan secara serius hingga menimbulkan konflik.

Selain itu, Bhineka Tunggal Ika juga tidak memiliki sifat formalitas namun, masyarakat harus memberi rasa hormat serta rukun kepada masyarakat lainnya.

Karena itu akan muncul yang namanya kehidupan bermasyarakat. Bhinneka Tunggal Ika juga memiliki prinsip tidak bersifat enklusif, bahwa setiap kelompok, suku, ataupun organisasi di Indonesia diperlakukan secara sama.

Terakhir, Bhineka Tunggal Ika memiliki sifat konvergen atau dewasa dalam menghadapi perbedaan pendapat atau perbedaan budaya.

Sifat inilah yang menjadi dasar, apabila terjadi konflik atau pertikaian diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mufakat.

Bhineka Tunggal Ika di Era Digital

Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila digali atas dasar kekayaan budaya, religius, dan moral masyarakat bangsa Indonesia sendiri.

Pancasila harus direfleksikan dan diimplementasikan secara nyata oleh semua masyarakat bangsa Indonesia tanpa terkecuali.

Apalagi, Pancasila apabila dimaknai secara mendalam tentu bisa membawa Indonesia menuju cita-cita kemerdekaan yang dahulu telah ditanamkan dalam setiap benak anak bangsa.

Ditambah lagi, seluruh masyarakat bangsa Indonesia memiliki tanggung jawab penuh dalam menjaga dan melestarikan Pancasila serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya dari pengaruh-pengaruh radikalisme dan sikap intoleran yang memecah belakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Semua elemen bangsa apapun itu suku, agama, etnis wajib mendukung dan berani bersuara menegakan Pancasila.

Sayangnya, beberapa penelitihan mengatakan bahwa generasi millenial, yang saat ini mendominasi masyarakat Indonesia, justru menjadi yang sangat rentan terhadap pengaruh-pengaruh radikalisme dan tindakan intoleran di tengah derasnya arus informasi yang beredar di media sosial dan internet.

Sebab, banyak informasi-informasi yang tidak difilter dan bahkan menjadi tidak terkendali. Bahaya gerakan anti terhadap Pancasila dan gerakan radikalisme juga kini mulai nampak dan merebak di kalangan pelajar serta mahasiswa yang merupakan kelompok dari generasi millenial ini.

Menjunjung Tinggi Toleransi

Toleransi merupakan sifat dasar masyarakat Indonesia. Yang memiliki arti saling menghormati antar agama, suku bangsa, menghargai hasil karya orang lain, bergotong royong membangun bangsa tanpa memandang perbedaan suku dan agama yang ada, tidak saling membedakan bahkan mencaci karena hal ini dapat menimbulkan konflik dan menjadi sumber atau awal pemecah kesatuan bangsa.

Di era digital seperti ini, toleransi bukan hanya dilakukan di dunia nyata dengan tetangga, teman kerja, atau teman kuliah.

Namun juga di dunia maya, agar bisa menahan diri untuk tidak berkomentar buruk tentang sesuatu hal.

Oleh karena itu, usahakan untuk berpikir ribuan kali sebelum berkomentar yang buruk. Kalau dahulu ada pepatah yang mengatakan mulutmu harimaumu, di masa sekarang, jarimu juga bisa jadi harimaumu.

Semangat Gotong-Royong

Semangat gotong-royong pada era sekarang ini juga tidak melulu bahu-membahu dalam membersihkan lingkungan, atau ronda untuk menjaga keamanan dari maling dan pencuri.

Namun, semangat gotong-royong saat ini sudah meluas seperti dengan melawan hoax atau berita bohong yang saat ini kerap kali menerjang bangsa Indonesia.

Biasakan untuk memverifikasi data atau berita yang diterima dan ingin disebarkan. Karena jejak digital sangat sulit untuk dihilangkan, kamu tentu tidak ingin diingat sebagai salah satu orang yang menyebarkan berita tidak benar bukan.

Hal ini juga perlu dilakukan secara gotong royong, pasalanya, setiap harinya, ada ribuah hoax yang menyebar dan siap merusak generasi muda dan kebihinekaan negara ini.

Kembali ke Pancasila

Teknologi komunikasi dan informasi telah mengubah perang konvensional menjadi perang modern dengan menggunakan teknologi, media massa, internet (cyber war). Sasarannya jelas yaitu ketahanan ekonomi, pertahanan dan keamanan, budaya, ideologi, lingkungan, politik, karakter.

Untuk membentengi diri dari kehancuran akibat pesatnya perkembangan teknologi dan upaya-upaya memecah bangsa, maka bangsa ini harus kembali kepada Pancasila.

Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia, telah berkembang secara alamiah dari perjalanan panjang sejarah, berisikan pandangan hidup, karakter, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, termasuk juga Bhineka Tunggal Ika.

Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila itu ialah semangat bersatu, menghormati perbedaan, rela berkorban, pantang menyerah, gotong royong, patriotisme, nasionalisme, optimisme, harga diri, kebersamaan, dan percaya pada diri sendiri.

Pancasila harus dijadikan cara hidup seluruh anak bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Oleh sebab itu, Pancasila bukan hanya diajarkan secara formal dengan tampilan kaku di sekolah, tetapi yang terpenting ialah hakikatnya tetap terpelihara dan diamalkan.

Nah jadi sebagai generasi muda sudahkah kamu mengamalkan Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila?

Meski sudah mulai sangat terkikis, tidak ada salahnya loh untuk kembali mengamalkan nilai-nilai tersebut.