Menakar Sengkarut Reklamasi di Teluk Jakarta

Membincang reklamasi di teluk Jakarta seakan tidak ada habisnya. Proyek yang mulai diinisiasi pada tahun 1995 lalu itu, hingga kini masih mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak.

Ya, wacana reklamasi teluk Jakarta sebenarnya sudah dimulai sejak era Gubernur Wiyogo Atmodarminto. Kala itu, sang Gubernur mengalamai kesulitan untuk memperluas wilayah ke daerah Selatan, sehingga dipilihlah opsi untuk melakukan perluasan ke wilayah utara Jakarta.

Jika mengacu pada gagasan awal pembangunan reklamasi, sekitar 2.700 hektar (ha) lahan bakal bertambah di wilayah Jakarta Utara. Disamping itu, niatan untuk menguruk laut juga disandarkan pada adanya ketimpangan pengembangan antara kotamadya Jakarta Utara dibanding kotamadya lainnya.

Tidak menunggu lama, Presiden Soeharto yang saat itu masih menjabat menyetujui rencana tersebut dan keluarlah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 Tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Hal itu kemudian diperkuat dengan peraturan daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Perda Nomor 8 Tahun 1995.

Namun ternyata praktek reklamasi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak aspek yang harus dikaji dan ditelaah lebih lanjut. Protes pun kemudian berdatangan setelah munculnya landasan hukum terkait reklamasi.

Uniknya, protes juga datang dari pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup. Menurut pihak kementerian jika reklamasi dilakukan bisa berdampak buruk bagi lingkungan sekitar Jakarta.

(Baca juga: Jas Hujan Terbaik dengan Harga Terjangkau)

Jalan Panjang Reklamasi

Protes pun berubah menjadi permasalahan hukum. Gugatan dari pengembang yang mendapat “jatah reklamasi” dilayangkan pada 2007, hasilnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memenangkan gugatan tersebut.

Namun Kementerian pun tidak tinggal diam, setelah kalah di PTUN, sengketa dilanjutkan ke tahap Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2009. Hasilnya MA mengabulkan kasasi yang dilayangkan oleh Kementerian, diputuskan bahwa reklamasi menyalahi Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan).

Tidak disangka, ibarat kapal berlayar, arah angin berubah, MA di 2011 malah menyatakan bahwa reklamasi di pantai Jakarta legal tetapi Pemprov DKI harus membuat kajian amdal baru guna memperbarui amdal yang sudah diajukan sebelumnya di 2003.

Keputusan untuk jalan atau tidaknya reklamasi lama terkatung-katung, hingga saat Pemprov DKI dipimpin oleh Basuki Thajaja Purnama (BTP) di 2015 mulai menjalankan mega proyek tersebut. Rencananya akan dibangun sebanyak 17 pulau yang di setiap nama pulaunya diberi nama secara alfabet dari pulau A hingga pulau Q.

Baru mulai berjalan, reklamasi kembali menemui hambatan. Kail ini persoalan muncul dari adanya kasus suap antara salah satu anggota DPRD DKI Jakarta dengan Direktur Utama Agung Podomoro Land, salah satu pengembang yang bakal menggarap reklamasi teluk Jakarta.

Adanya kasus tersebut membuat Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang waktu itu dikepalai oleh Rizal Ramli mengeluarkan moratorium pembangunan proyek reklamasi tersebut.

Namun hanya berjalan satu tahun, tahta kepemimpinan Menteri juga sudah diganti, kebijakan pun berganti. Luhut Binsar Panjaitan yang menggantikan posisi Rizal Ramli mencabut moratorium tersebut.

Ditengah moratorium, Pemprov DKI juga sempat memberikan izin lingkungan atas proyek tersebut lantaran besarnya potensi penerimaan yang mencapai Rp179 triliun dalam 10 tahun.

Sebagai informasi, terdapat 9 pengembang pemenang tender yang nantinya bakal menggarap proyek reklamasi teluk Jakarta, mereka adalah PT Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Marunda, PT Pelindo II, PT Manggala Krida Yudha, PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Kapuk Naga Indah yang merupakan anak usaha dari Agung Sedayu, PT Jaladri Eka Pasti, PT Taman Harapan Indah anak usaha dari PT Intiland Development Tbk, PT Muara Wisesa Samudera anak usaha dari Agung Podomoro dan PT Jakarta Propertindo.

(Baca juga: Mau Investasi Properti? Simak Kiatnya Yuk!)

Kebijakan Baru, Reklamasi Dihentikan?

Bergantinya orang yang duduk di kursi pemerintahan memang sangat berpengaruh terhadap arah bisnis dan juga kebijakan yang bakal dijalankan. Setelah BTP kalah dalam kontestasi politik untuk merebutkan kursi nomor 1 di DKI Jakarta, posisi Gubernur diisi oleh Anies Baswedan.

Anies pun kemudian mencabut izin prinsip proyek di 13 pulau reklamasi yang belum terbangun. Dia juga menyegel sekitar 900-an bangunan yang berada di pulau D. Tidak semua pulau memang yang dicabut izinnya.

Pemprov DKI sudah mempunyai rencana atas 4 pulau lainnya, Cita-cita Anies adalah ingin menjadikan 4 pulau tersebut bisa bermanfaat bagi kepentingan publik.

Dalam arti, reklamasi tidak melulu untuk orang yang berduit saja, seperti yang ada di wilayah Pantai Mutiara, Pluit dan wilayah mewah di utara Jakarta lainnya yang merupakan hasil reklamasi.

Namun rencana tersebut tampaknya mulai berubah arah, Anies diketahui telah mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk sejumlah bangunan di pulau C dan D yang sekarang namanya sudah dirubah menjadi Pulau Kita dan Pulau Maju.

Aksi tersebut dikatakan oleh sejumlah pihak tidak sesuai prosedur. Lantaran seharusnya sebelum diterbitkan izin, Pemprov DKI harus menunggu penyelesaian tuntasnya 2 rancangan peraturan daerah (raperda) reklamasi yakni rencana zonasi wilayah pesisidan dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) dan rencana tata ruang Kawasan strategis pantai utara Jakarta.

Salah satu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta asal Partai PDIP mengatakan bahwa langkah yang dilakukan Anies tidak melalui prosedur hukum yang baik. Padahal sesuai janji politiknya dulu, Anies pernah cawe-cawe bahwa proyek reklamasi bakal dihentikan.

Lalu bagaimana nasib reklamasi teluk Jakarta kedepannya. Tetapi yang jelas, proyek pembangunan Tanggul Laut Jakarta akan tetap dikebut untuk menjaga ibukota kita tercinta ini tidak terendam oleh air laut.

Jalan atau tidaknya proyek reklamasi memilki dampak yang tidak sedikit, baik itu bagi pengembang maupun bagi nelayan. Bagi pengembang, investasi yang sedari awal sudah dikeluarkan jika reklamasi dihentikan akan menjadi percuma.

Tetapi disisi lain, jika reklamasi tetap dilaksanakan ada pihak yang menyatakan bahwa puluhan ribu nelayan yang selama ini menggantungkan nasibnya pada teluk Jakarta terancam kehilangan mata pencahariannya.

Apapun itu yang penting seperti kata Anies dulu adalah “keberpihakan kepada masyarakat, bukan pada pengusaha ataupun golongan tertentu.