Sejarah Langgar, Masjid Kecil untuk Beribadah
3 menit membacaSebagian dari kita pasti masih asing dengan kata langgar, atau bahkan ada yang menafsirkannya sebagai melanggar lalu lintas. Padahal kata tersebut sangat luas, dan salah satunya merujuk pada tempat ibadah umat Islam.
Dalam bahasa Jawa, langgar adalah tempat ibadah dengan ukuran relatif kecil untuk umat Islam yang ingin menjalankan shalat maupun mengaji. Namun istilah langgar sebetulnya berbeda dengan masjid.
Jika masjid biasanya digunakan sebagai tempat mendirikan shalat lima waktu serta shalat Jumat, langgar tidak diperuntukan untuk digunakan sholat Jumat kecuali diperlukan.
Langgar dan Musala, Berbedakah?
Sebelum kata musala populer, tempat ibadah umat Islam dengan ukuran kecil di Pulau Jawa dikenal dengan nama langgar.
Penafsiran kata langgar serupa dengan musala, sebab kedua tempat ini sama-sama digunakan untuk umat Islam menunaikan kewajibannya.
Penggunaan kata langgar berasal dari julukan yang diberikan oleh penganut agama lokal kepada langgara atau orang yang melanggar adat istiadat leluhur, di tempat berkumpulnya yang dikenal dengan sebutan langgar.
Langgar sendiri hanya dapat menampung 5 hingga 10 orang untuk menjalankan aktivitas keagamaan. Namun, kini keberadaan langgar relatif berkurang seiring dengan perkembangan Islam.
Pembuatan langgar rata-rata menggunakan kayu dengan beragam jenis lantai. Mulai dari lantai bebatuan, lantai keramik, hingga lantai dengan lapisan anyaman bambu.
Bentuknya menyerupai rumah panggung dengan 3 bagian ruangan yaitu serambi, tempat pengimaman, dan ruang induk untuk menjalankan sholat dan mengaji.
Kini bangunan sederhana ini telah berganti peran menjadi musala, karena penggunaannya yang dapat menampung lebih banyak orang.
(Baca Juga: Rekomendasi Wisata Halal di Jepang, Ada Masjid Camii Tempat Syahreino Menikah)
Bangunan Langgar yang Masih Tersisa
Walaupun jarang ditemukan, bukan berarti beberapa kota di Indonesia sudah tidak memiliki langgar sebagai bangunan bersejarah peninggalan umat Islam.
Beberapa tempat di Indonesia seperti Jakarta, Kudus, dan Solo hingga saat ini masih menjaga langgar sebagai bagian dari sejarah Islam. Berikut adalah cerita mengenai beberapa langgar di kota tersebut.
Nah, buat kamu yang penasaran mengenai cerita langgar dari ketiga kota tersebut, berikut penjelasannya!
- Langgar Tinggi Pekojan, Jakarta
Salah satu tempat ibadah peninggalan masa lampau yang bisa kamu temui di Jakarta adalah Langgar Tinggi Pekojan, Jakarta Barat yang dibangun dengan paduan gaya Eropa, Tiongkok, India, dan Jawa.
Konon Langgar Tinggi Pekojan adalah musalah yang digunakan oleh warga keturunan Arab untuk melakukan aktivitas keagamaan sekaligus tempat perniagaan.
Uniknya, bangunan sederhana yang terdiri dari 2 lantai ini sama sekali tidak tampak seperti tempat ibadah sebab pada lantai 1 bangunan digunakan untuk berdagang. Berbagai versi cerita mengenai pembangunan Langgar Tinggi Pekojan pun banyak beredar.
Salah satunya adalah menurut Alwi Shahab dalam bukunya yang berjudul Saudagar Baghdad dari Betawi (2004) menjelaskan bahwa pendiri Langgar Tinggi Pekojan adalah seorang pelaut asal Arab bernama Syaikh Said Naum.
- Langgar Bubrah, Kudus
Cerita mengenai langgar selanjutnya datang dari kota Kudus, Jawa Tengah. Langgar Bubrah yang merupakan bekas peninggalan Raden Poncowati pada tahun 1456 M.
Raden Poncowati merupakan seorang keturunan Majapahit yang menggunakan bangunan ini untuk melakukan ibadah selayaknya keturunan Hindu.
Setelah ia menjadi mualaf, bangunan ini diubah menjadi langgar yang bisa digunakan untuk berbagai aktivitas keagamaan hingga tempat pertemuan dan tempat menimba ilmu agama.
Konon, Langgar Bubrah sudah berada di Desa Demangan, Kabupaten Kudus jauh sebelum adanya Menara Kudus.
Desain arsitekturnya pun masih sangat lekat dengan kebudayaan Jawa di mana struktur bangunannya masih menggunakan tumpukan batu bata merah dengan ukiran tembok.
- Langgar Merdeka, Solo
Salah satu langgar bersejarah lainnya yang masih terjaga hingga kini adalah Langgar Merdeka di kawasan Kampung Batik Laweyan, Jalan Radjiman nomor 565, Kota Solo.
Kisah menarik dari Langgar Merdeka adalah tempatnya dulu yang merupakan kios candu pada sekitar tahun 1930.
Penamaannya dipilih sebagai bentuk gertakan masyarakat Laweyan terhadap penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia, dimana mereka menegaskan bahwa tidak akan pernah takut maupun tunduk dengan siapapun.
Pembangunan Langgar Merdeka dilakukan pada sekitar tahun 1937 dan selesai tahun 1943 berkat Imam Mashadi, seorang pengusaha batik asal Laweyan yang membeli kios candu dan mengubahnya menjadi tempat ibadah.
(Baca Juga: Masjid Bersejarah di Jakarta yang Cocok untuk Wisata Religi Saat Ramadan)
Gimana penjelasan mengenai langgar tersebut. Apakah kamu penasaran dan ingin mengunjunginya? Masukan ke daftar tempat yang harus kamu kunjungi saat liburan ya!
Saat liburan mengunjungi tempat tersebut, gunakan kartu kredit BRI World Access untuk mempermudah transaksi dan mendapatkan banyak promo!
Belum punya kartu kredit yang satu ini? Ajukan di CekAja.com karena prosesnya yang mudah, cepat, dan aman! Jadi, tunggu apalagi? Yuk, sekarang melalui CekAja.com!