Resesi Belum Tentu Krisis Ekonomi! Ini Perbedaannya

Indonesia kemungkinan besar akan memasuki jurang resesi ekonomi akibat imbas dari pandemi Covid-19. Menyusul beberapa negara lain yang sudah lebih dulu mengalaminya, seperti Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.

Perbedaan Resesi dan Krisis Ekonomi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, sebelumnya memperkirakan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2020 akan tumbuh negatif di kisaran -1 persen hingga -2,9 persen.

Adapun, keseluruhan tahun dia mengungkapkan ekonomi Indonesia akan berada di posisi minus dalam kisaran -1,7 persen hingga -0,6 persen.

Sementara itu, Badan Pusat Statistik pada awal Agustus lalu juga mengumumkan jika pertumbuhan ekonomi Indonesia anjlok ke posisi minus 5,32 persen.

Bagaimana kepastiannya, masyarakat tinggal menunggu pengumuman resmi BPS 5 November 2020 mendatang untuk tahu seberapa dalam resesi pada kuartal III-2020 di Indonesia.

Kekhawatiran Terhadap Resesi, Perlu Kah?

Jangankan resesi, awal kemunculan virus corona saja cukup menyusahkan banyak lapisan masyarakat. PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) tak bisa dipungkiri cukup mengganggu produktivitas setiap orang, apapun pekerjaannya.

Kebijakan work from home sendiri membuat semua karyawan tak bisa pergi ke kantor, sehingga kinerja perusahaan pun menurun tak seperti biasanya. Apalagi kalau ada kasus positif, kantor atau pabrik wajib ditutup sementara.

Berdasarkan laporan Analisis Hasil Survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha keluaran BPS, 83% dari  34.559 unit usaha yang disurvey mengaku mengalami penurunan pendapatan.

Mirisnya lagi, Unit Usaha Kecil (UMK) ternyata lebih terdampak oleh pandemi ini. Sebanyak 84,2% pelaku UMK mengaku mengalami penurunan pendapatan, sedangkan di Unit Usaha Besar (UMB) adalah 92,29%.

Hal ini praktis membuat dunia usaha kelimpungan untuk mempertahankan bisnis mereka. Imbasnya secara langsung, pengusaha terpaksa merumahkan karyawan hingga PHK.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listyanto pun mengakui bahwa resesi memang sulit dihindari. Namun, menurutnya resesi tak akan separah krisis ekonomi pada 1998.

Sebab, Indonesia kala itu dibuat geger akibat rupiah yang anjlok hingga kisaran Rp17 ribu per dolar AS.

Sementara kini, rupiah masih berada di kisaran Rp14 ribu per dolar AS. Bahkan tingkat keparahan resesi  untuk menjadi depresi masih cukup kecil.

Pasalnya, pertumbuhan negatif pada kuartal III 2020 diperkirakan lebih rendah dari kuartal II.

(Baca Juga: Fakta Tanaman Hias Janda Bolong, Harganya Bisa Mencapai Puluhan Juta!)

Resesi Bukan Krisis Ekonomi!

Ketika mendengar kata resesi, tak jarang mengingatkan kita dengan kondisi di tahun 1998 yang juga mengalami banyak kerusuhan. Padahal sebenarnya, resesi dan krisis ekonomi berbeda.

Melansir CNN Indonesia, krisis adalah keadaan yang mengacu pada penurunan kondisi ekonomi drastis di suatu negara.

Berbeda dengan resesi, penurunan pertumbuhan ekonomi saat krisi berlangsung drastis dan tajam.

Gejala krisis ekonomi biasanya didahului oleh penurunan kemampuan belanja pemerintah, jumlah pengangguran melebihi 50% dari jumlah tenaga kerja, penurunan konsumsi atau daya beli rendah, kenaikan harga bahan pokok tak terbendung, serta penurunan nilai tukar uang.

Jangka waktu krisis juga menentukan perbedaan antara resesi dengan krisis ekonomi. Pada resesi, jangka waktu kondisi ini berlangsung selama 6-18 bulan.

Sedangkan lamanya krisis, berlangsung antara 18-43 bulan. Dengan kata lain, krisis ekonomi merupakan kondisi yang jauh lebih parah daripda resesi.

Nah, Kalau Depresi Ekonomi Apa?

Selain resesi dan krisis, ada lagi istilah depresi ekonomi. Depresi ekonomi terjadi jika kontraksi ekonomi dari resesi, terus berlanjut hingga lebih dari 18 bulan lamanya. Secara dampak, tentunya lebih besar dari resesi.

Resesi terjadi ketika PDB turun di kisaran minus 0,3 sampai 5,1 persen. Sedangkan dalam kondisi depresi, penurunan PDB berada di level minus 14,7 persen hingga 38,1 persen.

Negara yang mengalami depresi ekonomi berarti mengalami kebangkrutan atau kolaps. Ketika sudah berada dalam tahap berbahaya ini, pemulihan perekonomian akan lebih sulit dilakukan.

Efek kemerosotan ekonomi tidak hanya dirasakan oleh individu saja, namun sampai ke level perusahaan, bahkan negara.

Pada level individu, depresi ditandai dengan meningkatnya jumlah pengangguran di angka lebih dari 50%. Sementara di level perusahaan, depresi terlihat dari banyaknya perusahaan yang bangkrut.

Lancarkan Usahamu dengan Fasilitas KTA

Meski tak separah krisis ekonomi, resesi bagi sebagian masyarakat tetaplah ‘bencana’ yang mau tak mau harus dilewati.

Agaknya kita tak bisa hanya bergantung pada satu mata pencaharian saja, mengingat kondisi ekonomi kelak tidak ada yang tahu.

Satu hal yang bisa kamu lakukan saat ini adalah mencari penghasilan tambahan, lewat berjualan mungkin?

Apalagi dengan kehadiran media sosial dan marketplace, harusnya tak ada lagi alasan untuk menunda usahamu, demi pundi-pundi rupiah.

Urusan modal, kamu bisa menggunakan tabungan saat ini atau megajukan fasilitas KTA (Kredit Tanpa Agunan) melalui CekAja.com.

Di sana, kamu bisa mengajukan pinjaman dana sesuai kebutuhan dan kemampuan finansial. Prosesnya cepat,  cicilan ringan, bunganya pun rendah!