Guru Dulu dan Sekarang, Selamat Hari Guru Nasional Ya!
4 menit membacaTanggal 25 November dinobatkan sebagai hari Guru Nasional bagi Bangsa Indonesia. Berjuta rasa terima kasih seakan tidak pernah cukup diberikan kepada sang pahlawan dalam kesunyian tersebut. Tidak terhitung berapa banyak anak yang di didik dan akhirnya mampu menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara. Selamat Hari Guru Nasional!
Kamu yang saat ini sudah bekerja dan berkeluarga, tentu sangat merindukan momen dimana kalian berada di sekolah. Mulai dari teman semasa sekolah, guru-gurunya yang biasanya galak dan tidak lupa ibu kantin yang tidak pernah lupa menyediakan makanan dikala lapar.
Banyak yang bilang masa-masa yang paling indah adalah masa sekolah. Banyak canda dan juga kenangan konyol yang suka menggelitik kita jika diingat.
Selain perihal canda, ada banyak pelajaran juga yang diambil dan secara tidak sadar masih dibawa sampai kita se-usia sekarang. Petuah-petuah guru juga ikut membentuk kepribadian dan karakter kita di saat dewasa.
Sebut saja tokoh-tokoh besar dunia yang saat ini seliweran di televisi, mulai dari Barrack Obama, Joko Widodo, Donald Trump, Prabowo Subianto hingga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru kita, Nadiem Makarim pun dulunya adalah seorang murid.
Jika tidak ada guru, bisa dibayangkan, bagaimana keadaan suatu negeri yang hidup tanpa pengetahuan yang menular.
Oleh karena itu, pantas rasanya jika negara memberikan apresiasi dengan menjadikan tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional.
(Baca juga: Hari Guru Nasional, Setuju Tidak Kalau Guru di Indonesia Diperlakukan Seperti di 5 Negara Ini?)
Sejarah Hari Guru
Hari Guru Nasional mulai ditetapkan pada tahun 1994, atau sekitar 25 tahun lalu. Sebagai payung hukumnya, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden No. 78 Tahun 1994.
Penerbitan Kepres tersebut juga dimaksudkan untuk menetapkan hari kelahiran Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di tanggal 25 November.
Namun PGRI sudah lebih dulu berdiri, yakni di tahun 1945, sedangkan Hari Guru baru ditetapkan pada tahun 1994, 49 tahun kemudian.
Profesi guru pada zaman penjajahan dulu masuk dalam profesi yang terhormat. Tidak banyak orang yang bisa duduk di posisi guru, hanya golongan elite dan bangsawan yang bisa menyecap pendidikan barat.
Maklum, dengan memiliki status sosial yang baik, mereka memiliki akses yang cukup untuk bisa sekolah dan mendapatkan ilmu untuk kemudian ditularkan ke masyarakat luas.
Hal itu juga menjadikan profesi guru sebagai profesi yang langka. Dengan sedikitnya jumlah pengajar, maka kesempatan anak bangsa untuk bisa maju juga semakin kecil. Oleh karena itu, menjadi guru pada zaman kolonial merupakan profesi yang cukup berbahaya.
Meskipun begitu, tidak sedikit juga tokoh pergerakan kemerdekaan yang berasal dari kalangan guru. Sebut saja Ki Hajar Dewantara, yang juga dikenal sebagai Bapak Pendidikan, kemudian ada juga Douwes Dekker yang dulu mendirikan Ksatriaan Insitut dan masih banyak lagi.
PGRI sendiri merupakan bentuk konkrit dari perserikatan para guru. Tujuannya jika melansir dari laman PGRI adalah untuk mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia, mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan dan membela hak dan nasib buruh umumnya,guru pada khususnya.
Cikal bakal PGRI sudah lahir sejak tahun 1912, kala itu organisasi yang ada adalah Persatuan Guru HIindia Belanda (PGHB). Hingga kemudian 20 tahun kemudian namanya berubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI).
Keberadaan PGI pada masa pendudukan Jepang sempat dilarang untuk beroperasi. Bahkan seluruh organisasi dan juga sekolah ditutup, hal itu tentu membuat ruang gerak untuk tumbuh kembangnya pendidikan di tanah air menjadi bertambah sempit.
Baru kemudian pada 24 hingga 25 November 1945, para guru menggelar Kongres Guru Indonesia yang juga secara formal melatar belakangi lahirnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Pada titik itu, semua sepakat untuk menghapuskan organisasi dan kelompok guru yang berlatar belakang perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, daerah, agama, suku dan juga politik.
(Baca juga: Tempat Kuliah Online Murah dengan Kualitas Baik di Indonesia)
Pendidikan di Era 4.0
Nah membincang pendidikan di era teknologi 4.0, saat ini dunia pendidikan tidak lagi berjalan secara konvensional.
Dalam proses belajar mengajar tidak lagi diharuskan terikat ruang dan waktu, meskipun masih terdapat kewajiban murid untuk datang ke sekolah setiap harinya.
Tetapi jika ada hal yang membuat kondisi tersebut tidak dapat tercipta, murid dan guru dapat bertatap muka melalui bantuan perangkat teknologi.
Jadi peraturan yang ada didalam dunia pendidikan juga dibuat lentur, sehingga terdapat kesepakatan yang saling menguntungkan di kedua belah pihak, baik gurunya maupun murid.
Oleh karena itu saat ini ada juga istilah home schooling, atau sekolah mandiri. Disini peran orang tua sangat besar untuk memberikan pendidikan yang tepat untuk anaknya.
Mulai dari pendidikan yang setara dengan usianya maupun pendidikan moral. Untuk mendapatkan legitimasi atas kelulusan masa sekolahnya, murid tersebut harus mengikuti proses ujian nasional yang diadakan oleh pemerintah, biasanya melalui program Kejar Paket.
Untuk pendalaman materi, saat ini juga sudah tersedia aplikator yang berfungsi membantu peserta didik mendapatkan pemahaman mendalam tentang pengetahuan apa yang diinginkan. Kamu tinggal mengaksesnya lewat ponsel dan bisa belajar secara mandiri.
Kemajuan teknologi pada akhirnya memang membuat semuanya berjalan terlihat mudah. Namun perlu diingat, bahwa kematangan emosional hanya bisa didapatkan melalui pelajaran kehidupan, yakni lewat pergaulan dan juga interaksi sosial yang selama ini dibangun di sekolah-sekolah pada umumnya.
Demi mengapresiasi profesi guru, kamu bisa memberikan kenang-kenangan yang menarik untuk pahlawanmu. Tanggal tua? jangan takut, akses CekAja.com dan temukan produk keuangan yang cocok untuk kebutuhanmu.