Waspadai Pencucian Uang di Fintech!
3 menit membacaKemajuan teknologi merupakan salah satu hal yang tidak dapat dibendung perkembangannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, teknologi akan selalu bergerak dinamis sejalan dengan kebutuhan manusia itu sendiri.
Seperti yang terjadi sekarang, banyak orang membicarakan tentang revolusi industri 4.0 atau industri yang menggabungkan teknologi siber dan robotik dalam proses kerjanya.
Hal itu muncul lantaran kebutuhan manusia yang menginginkan segala hal berjalan cepat namun tetap aman.
Secara positif, hadirnya teknologi 4.0 akan banyak membantu manusia untuk mengejar target yang diharapkan. Namun jangan lupa, setiap hal yang punya unsur kebaruan memiliki dua sisi mata uang.
Jika ada benefit, tentu ada juga ancamannya. Sebagai contoh perkembangan teknologi di industri keuangan yang pada akhirnya melahirkan “bayi” bernama Fintech atau financial technology. Munculnya industri baru ini disambut dengan gegap oleh kaum muda dan gagap oleh sebagian golongan.
Ya, dengan hadirnya industri ini, generasi milenial yang selama ini dikenal memiliki mobilitas tinggi dan juga tertarik dengan hal-hal berbau teknologi canggih, menyambut fintech dengan penuh keceriaan. Dengan penuh harapan bahwa Fintech dapat memudahkan proses hidup mereka.
Namun ada juga golongan yang menerima kehadiran industri itu dengan gagap. Karena mungkin selama ini mereka sudah terbiasa dan nyaman dengan sistem konvensional yang sudah terbangun sebelumnya.
Bahkan salah satu kandidat Presiden yang ikut dalam kontestasi politik di Pemilu 2019, Prabowo Subianto pernah mengatakan bahwa dengan hadirnya Unicorn bisa membuat uang di Indonesia lari ke luar negeri.
Unicorn sendiri merupakan sebutan bagi perusahaan rintisan yang memiliki valuasi aset minimal 1 miliar dolar AS.
Sebelumnya Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kiagus Ahmad Badaruddin pernah juga mengatakan bahwa fintech bisa dimanfaatkan untuk money laundring.
Hal serupa sebenarnya pernah juga menjadi kekhawatiran bagi beberapa orang, dimana perusahaan fintech lending rentan digunakan sebagai sarana pencucian uang.
(Baca juga: KPK Antisipasi Modus Korupsi Baru Lewat Fintech)
Peraturan Anti Pencucian Uang
Kecemasan tersebut sebenarnya dapat dipahami, pasalnya hingga sekarang belum ada aturan yang jelas terkait dengan penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT) dari regulator.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui bahwa saat ini proses skrining di industri fintech baru dilakukan oleh asosiasi fintech indonesia (Aftech).
Analis Eksekutif Senior Grup Penanganan APU-PPT OJK Dewi Fadjarsarie Handahajani mengakui asosiasi merupakan salah satu self regulatory yang bisa melakukan pengawasan terhadap calon anggota dan anggotanya .
OJK juga sudah menelurkan peraturan untuk mencegah terjadinya pencucian uang. Tepatnya melalui POJK Nomor 12/POJK.01/2017. Namun peraturan tersebut hanya berlaku bagi perusahaan jasa keuangan (PJK) yang non fintech.
Karena fintech sendiri merupakan model bisnis yang baru saja masuk ke dalam cakupan OJK untuk pengawasannya.
Khusus untuk perusahaan fintech yang berbisnis peer to peer lending, baru akan diberi kewajiban untuk mengikuti POJK Nomor 12 tersebut pada tahun 2021 mendatang.
Masuknya fintech dalam lingkup pengawasan OJK merupakan bentuk hadirnya dua direktorat baru yakni direktorat Inovasi Keuangan Digital serta Direktorat Perizinan dan Pengawasan Fintech. Dua unit baru tersebut merupakan bentuk respon atas masifnya pergerakan fintech di Indonesia.
“Saat ini Lembaga fintech belum diwajibkan untuk memberikan LPKT atau laporan transaksi keuangan tunai kepada OJK,” katanya saat acara diskusi yang berjudul ‘Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme: Ancaman Bagi Perkembangan Industri Fintech,’ di Jakarta.
Sementara itu Direktur PT Pembayaran Lintas Usaha Sukses (ESPAY CDD) Joshua Dharmawan mengatakan peluang pencucian uang dan pendanaan terorisme terbuka lebar melalui bisnis pinjaman online, pembelian investasi online, dan asuransi online.
Oleh karena itu, pihaknya telah bekerjasama dengan Dow Jones dan TESS International untuk menyediakan sistem customer due diligence (CDD).
Melalui CDD itu nantinya proses identifikasi dan juga verifikasi terhadap profil pelanggan yang akan melakukan transaksi keuangan dapat terpantau.
(Baca juga: Dirugikan Fintech Abal-abal? Jangan Ngadu ke Netizen Julid Tapi ke Sini)
Rapor Merah untuk NPL
Sementara itu terkait dengan kinerja, industri yang belum lama berdiri ini tampaknya mulai tertekan.
Hal Itu terlihat dari rapor untuk rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) pada akhir 2018 lalu yang merangkak naik ke angka 1,45 persen, padahal pada 2017 rasio NPL industri fintech masih berada di level 0,99 persen.
Terbatasnya jumlah data transaksi pinjaman untuk fintech lending diduga menjadi salah satu penyebab membengkaknya rasio kredit bermasalah di industri anyar tersebut.
Maklum, selama ini perusahaan fintech yang berbasis bisnis pada pemberian kredit masih sangat bergantung pada sistem credit scoring yang dilakukan oleh mesin kecerdasan buatan.
Sedangkan terkait dengan penyaluran pinjaman, hingga akhir tahun lalu, sebanyak RP22,67 triliun dana kredit berhasil didistribusikan ke konsumen fintech lending.
Capaian tersebut naik lebih dari 700 persen dari realisasi penyaluran kredit oleh fintech lending baru di 2017 yang hanya mencapai Rp2,56 triliun
Berdasarkan data OJK, pada akhir tahun lalu jumlah rekening lender atau pemberi pinjaman mencapai 207.506 entitas. Jumlah tersebut meningkat lebih dari 100 persen dari posisi 2017.
Sedangkan untuk rekening peminjam, jumlahnya sudah mencapai angka 4,35 juta entitas atau bertumbuh lebih dari 1.500 persen dibanding tahun 2017.