Fintech dan Kontribusi CekAja dalam Membangun Inklusi Keuangan di Indonesia

Hadirnya perusahaan financial technology (Fintech) memberi angin segar bagi industri keuangan di Indonesia. Melalui fintech, industri keuangan yang selama ini dikenal kaku dan sarat birokrasi terlihat bak remaja yang riang namun tetap awas.

Ini Jenis-jenis Fintech di Indonesia, Sudah Tahu?

Bagi generasi yang lahir sebelum kamu para milenial, mungkin hanya mengenal kantor cabang bank, asuransi ataupun kantor lembaga keuangan lainnya untuk mendapatkan akses keuangan.

Sekarang melalui fintech, masyarakat luas bisa dengan leluasa mendapatkan layanan keuangan yang prima hanya dengan mengetukkan jemarinya di ponsel.

Memang tidak dapat dipungkiri, perkembangan teknologi yang terjadi di berbagai belahan dunia ikut memantik perkembangan di masing-masing industri, tidak terkecuali industri keuangan. Menyikapi hal itu, regulator tidak tinggal diam.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan juga Bank Indonesia (BI) selaku “Patih dalam industri keuangan di Indonesia telah menyiapkan berbagai wadah untuk menjaga industri yang baru lahir itu tetap berada di garis yang seharusnya, disamping juga menjaga keamanan masyarakat dalam bertransaksi di fintech tentunya.

Wadah-wadah yang disiapkan seperti inkubator fintech dan juga OJK Innovation Centre for Digital Financial Technology atau yang dikenal dengan OJK Infinity.

Kedua wadah tersebut tidak lain dan tidak bukan dimaksudkan untuk memberikan layanan yang efektif, efisien dan bermanfaat. Termasuk didalamnya juga untuk mendukung inklusi keuangan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Fintech untuk Inklusi

Munculnya fintech juga dimanfaatkan oleh regulator untuk mengejar target inklusi dan literasi keuangan. OJK mematok target inklusi pada tahun ini di angka 75 persen.

Sementara hingga akhir 2017 lalu inklusi keuangan yang sudah dicapai pemerintah berada di angka 69 persen.

Target inklusi keuangan pada tahun ini optimistis bisa dicapai melalui pertumbuhan industri keuangan digital, di mana fintech termasuk didalamnya.

Maklum, segmentasi fintech sendiri menyasar masyarakat yang belum memiliki akses keuangan ke bank atau biasa disebut unbankable.

Jadi hadirnya fintech merupakan pelengkap dalam industri keuangan nasional. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang digelar pada 2016 lalu, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai 21,84 persen.

Rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat juga terlihat dari banyaknya kasus penipuan investasi bodong.

Tengok saja jumlah kerugian yang dialami oleh nasabah dari beberapa lembaga investasi ilegal yang mencapai Rp14,45 triliun. Jumlah itu menggulung sejak tahun 2013 hingga 2017 lalu lho.

Nah sebagai langkah untuk mendorong literasi sekaligus menjaga kesejahteraan masyarakat, Pemerintah akhirnya membuat program Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLKI) di 2017.

(Baca juga: Dirugikan Fintech Abal-abal? Jangan Ngadu ke Netizen Julid Tapi ke Sini)

Dua Sisi Mata Uang

Digandengnya fintech sebagai “alat untuk mendorong literasi keuangan bukanlah tanpa alasan. Selain karena adanya lonjakan populasi generasi milenial, kehadiran fintech juga dibutuhkan karena lembaga keuangan konvensional mulai menahan diri untuk mengembangkan jejaringnya ke luar wilayah operasi yang menguntungkan.

Berdasarkan data OJK, sepanjang awal 2018 hingga akhir tahun penambahan jumlah cabang bank – bank konvensional hanya mencapai 9 kantor cabang, dari posisi 3.708 kantor cabang menjadi 3.717 kantor cabang.

Melambatnya penambahan jumlah cabang bank konvensional sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2016. Pasalnya pada tahun 2014 hingga 2015 penambahan jumlah cabang mencapai 137 kantor cabang, sementara pada tahun 2015 hingga 2016 penambahan jumlah cabang mulai susut ke angka 89 unit.

Nah pada tahun 2016 ke 2017, penambahan jumlah cabang hanya sebanyak 14 kantor cabang. Masifnya pertumbuhan industri fintech sedikit banyak ikut memengaruhi melambatnya penambahan jumlah cabang bank konvensional.

Pasalnya dalam model bisnis fintech, layanan keuangan justru datang ke calon nasabah, bukan nasabah yang harus mencari informasi mendalam tentang layanan keuangan yang ingin didapatkan. Melalui aplikasi dan juga internet.

Hadirnya industri fintech tidak hanya membawa dampak positif, ada dampak lain juga yang harus diwaspadai. Seperti kerahasiaan data nasabah, penerapan sistem bunga dan juga mitigasi risiko atas potensi kolektabilitas kredit.

Oleh karena itu, OJK juga sudah mengeluarkan kebijakan terkait aturan untuk perusahaan fintech yang fokus pada penyaluran kredit atau yang dikenal dengan peer to peer lending. Tujuannya adalah untuk menjaga kenyamanan dan juga keamanan nasabah ketika bertransaksi menggunakan layanan fintech.

Kontribusi CekAja

Salah satu lembaga keuangan fintech yang sudah terdaftar di OJK, CekAja memahami akan pentingnya inklusi keuangan dan juga keamanan dalam bertransaksi.

Dengan berbekal pengetahuan dan bisnis sebagai etalase produk keuangan di Indonesia, CekAja  ikut berpartisipasi dalam meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia.

Sebenarnya sasaran utama dalam keuangan inklusif adalah masyarakat berpenghasilan rendah. Saat ini jumlahnya masih berada di kisaran 40 persen.

Kelompok masyarakat seperti ini tidak memiliki akses keuangan, pun ada sifatnya hanya terbatas pada beberapa layanan keuangan saja.

Selain itu target inklusi keuangan juga menyasar pelaku usaha mikro dan wirausaha kecil yang memiliki keterbatasan sumber daya untuk memperluas usaha.

Salah satu program yang sudah dilakukan sejak lama dan secara konsisten terus dijalankan untuk mengerek angka inklusi keuangan adalah Gerakan Non Tunai.

Gerakan yang awalnya diinisiasi oleh Bank Indonesia (BI) itu terbukti secara ampuh meningkatkan angka inklusi keuangan. Nah CekAja sebagai penyedia layanan keuangan non tunai juga terus mendorong bisnisnya bertumbuh.

(Baca Juga: Mengenal Fintech yang Banyak Faedah Ketimbang Mudaratnya)

Tingkatkan Inklusi Keuangan

Dengan jumlah pelanggan yang sudah menembus angka 30 juta jiwa, CekAja terus berupaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang keuangan. Di usianya yang sudah menginjak 5 tahun ini, jika diibaratkan manusia, CekAja masih berada di fase transisi dari balita ke anak-anak.

Tumbuhnya bisnis CekAja sekaligus menandakan tumbuhnya inklusi keuangan di Indonesia. Maklum, dalam prakteknya, perusahaan memberikan informasi yang lengkap dari hulu hingga hilir.

Mulai dari apa itu kartu kredit hingga bagaimana mendapatkan dan mengajukan kartu kredit ataupun produk keuangan lainnya seperti kredit tanpa agunan (KTA), asuransi maupun produk investasi.